Sabtu, 30 April 2016

Ngalap Berkah di Makam Keramat Panembahan Kalibening, Banyumas


Makam panembahan Kalibening 

Tabir.com. Makam Panembahan Kalibening, yang sering disebut Makam mbah Kalibening atau Makam Kalibening, merupakan makam tua yang berada di perbukitan Desa Dawuhan, di Kecamatan dan Kabupaten Banyumas. 


Jika ditarik garis lurus, Makam Panembahan Kalibening di perbukitan ini berjarak sekitar 600 meter dari tepian Kali Serayu.
Sedikit ke atas dari Makam Panembahan Kalibening terdapat Sumur Pasucen yang airnya luar biasa bening. Sumur Pasucen lebih tepat disebut Umbul Pasucen, karena merupakan mata air yang terus keluar, meluap melewati batas atas dindingnya. Ada pula Pendopo dan Museum Kalibening, yang hanya dibuka sekali setahun pada saat bulan Maulud.
Makam Panembahan Kalibening berada 5 km dari Alun-alun Banyumas, arah ke Barat. Setelah 300 meter melewati

Makam R Joko Kaiman kami belok ke kanan lalu mengikuti jalan. Jalan menanjak tajam sebelum mentok pertigaan. Ke kiri 30 meter sampai ke pendopo, lurus adalah trap-trapan undakan ke Makam Panembahan Kalibening.
Setelah memberitahu kuncen bernama Ardja Semita yang ternyata umurnya sudah sepuh, kami menunggu di pendopo tradisional cantik yang berada tepat di depan Museum Kalibening, dengan empat soko guru dan pilar-pilar penunjang. Pada blandar terdapat torehan aksara berbunyi “Keblat papat gapuraning praja”, kiblat empat gapuranya negri.

Undakan yang persis di pertigaan ini menuju ke Makam Panembahan Kalibening dan Sumur Pasucen. Menunggu kuncen lama muncul, mulailah saya mendaki. Setelah menapak puluhan undakan barulah kuncen Ardja Semita muncul di ujung bawah undakan. Agak was-was juga menunggu kakek yang sudah sepuh itu menaiki undakan menggunakan tongkat.
Beriringan kami meneruskan langkah kaki menapaki undakan yang masih lumayan jauh. Undakan terakhir sebelum sampai di area Makam Panembahan Kalibening kemiringannya tajam. Di depan cungkup Makam Panembahan Kalibening terdapat pendopo yang sekaligus berfungsi sebagai musholla untuk para peziarah untuk sholat dan beristirahat.
Cungkup Makam Panembahan Kalibening terlihat renta, dan terkesan muram karena adanya tembok pelindung di depan pintu makam. Bangunan utamanya sebenarnya cukup bagus, hanya perlu dicat ulang. Pohon besar tinggi di belakang cungkup selain memberi keteduhan juga menambah aura magis makam, tentu bagi yang mempercayainya.

Kuncen Ki Ardja Semita yang sudah sepuh itu tampak duduk berdoa di teras kecil yang berada persis di depan pintu makam Panembahan Kalibening yang gembok baru saja ia buka beberapa saat sebelumnya. Bekas bakaran dupa menggunung. Ada nenas, kelapa, dan benda lainnya. Nisan makam tertutupi kain merah putih dengan kembangan abu-abu.
Konon ketika Kalibening masih menjadi bagian Kadipaten Selarong, wilayah itu tertimpa musim kemarau berkepanjangan. Resi Ajar Pamungkas yang waskita lalu meminta Adipati Galagumba (Glagah Amba) untuk bertapa di Gunung Slamet, dan saat itulah sang adipati menerima bisikan halus bahwa seseorang akan datang untuk menolong.

Tak lama kemudian datang Kaligajati atau Ki Langlanggati. Melihat penderitaan rakyat, ia menancapkan pusakanya di alun-alun Selarong. Saat dicabut, turunlah hujan. Ki Langlanggati lalu tinggal di Dawuhan, dan karena sulit air, ia tancapkan pusaka hingga muncul air bening. Ki Langlanggati kemudian dikenal sebagai Panembahan Kalibening.
  Prasasti di Makam Panembahan Kalibening 
Sesaat kemudian kami melangkah menuju Sumur Pasucen. Dalam perjalanan ada tengara pada batu yang berbunyi “Rampoengipoen damel Soemoer Pasoetjen 1918”, atau selesainya pembuatan Sumur Pasucen pada 1918. Kami lewat Sumur Lanang dan ketika pulang lewat Sumur Putri, namun kondisi kedua sumur itu dalam keadaan memprihatinkan.

Sumur Pasucen yang konon airnya keluar setelah Panembahan Kalibening menancapkan pusakanya. Airnya terus melimpah dari bibir sumur yang bentuknya bundar ini. Air sumur yang luar biasa bening ini terasa sejuk di tangan dan muka. Ki Ardja Semita menyebutkan bahwa ada dua mata air di sumur yang kedalamannya sekitar empat meter ini.
Tri, supir yang menemani sampai termangu melihat begitu jernihnya air Sumur Pesucen. Menggunakan kedua tangannya ia membasuh tangan, muka dan meminum beberapa teguk air yang konon bisa membuat awet muda dan banyak rejeki. Gayung plastik dan gayung yang terbuat dari batok kelapa juga disediakan di tepi sumur.
Sumur Pasucen terlihat sangat jelas dengan tebaran uang logam di dasarnya. Airnya yang tenang menjadikannya cermin yang sempurna. Meskipun berada pada ketinggian perbukitan, namun Sumur Pasucen belum lagi di puncak bukit. Puncak bukitnya ada di sebelah Barat pada jarak 575 meter, dan di sebelah Utara berjarak sekitar 600 meter.
Di sekitar Makam Panembahan Kalibening ada Makam Panembahan Putri, Makam Adipati Glagah Amba, dan Makam Panembahan Gunung Padhang atau Ki Ajar Subrata, namun saya tidak ke sana. Setelah menempelkan salam terima kasih kepada Ki Ardja Semita, kami berpamitan di pendopo makam, karena ia masih ingin di sana, mungkin menunggu tamu lain.


              https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )

Gadis Cantik Berujud Batu Gantung di Pulau Samosir






Tabir.com. Batu Gantung adalah sebuah pahatan alam berupa bebatuan yang terletak di Parapat, Sumatera Utara. 



Jika Anda pernah melancong ke Danau Toba, pasti Anda tidak melewatkan objek wisata ini. Hampir seluruh wisatawan domestik dan mancanegara yang hendak ke Danau Toba dan Pulau Samosir, mampir ke Batu Gantung ini.

Kenapa diberi nama Batu Gantung? Tidak lain adalah karena letak batunya yang tampak menggantung ke bawah.

Batu ini terlihat menyerupai postur tubuh manusia dengan posisi lurus ke bawah dengan keadaan terbalik. Banyak sekali legenda yang berkembang di masyarakat secara turun temurun tentang asal muasal terbentuknya fenomena alam ini.

Untuk melihat batu gantung di sebuah tebing di sisi danau Toba dapat menaiki speed boat dari tepian Pulau Samosir. Tebing tersebut memiliki ketinggian 20-30 meter dari sisi danau dan di ujung tebing kita bisa melihat sebuah batu yang menggantung di sisi tebing tersebut.

Legenda/Mitos Batu Gantung

Alkisah dahulu kala ada seorang gadis cantik jelita di Parapat, bernama Seruni, Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini disebabkan karena Sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga. Keadaan ini membuatnya menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, dan mulai berputus asa. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, namun di sisi lain ia juga tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya.

Karena malu sudah menolak ajakan orangtuanya, sang gadis begitu murung dan merasa kasihan kepada orangtuanya karena menjadi buah bibir di desa mereka. Selepas pulang dari sawah, sang gadis tidak langsung pulang, tetapi lebih memilih termenung di pinggiran Danau Toba dengan ditemani oleh anjing kesayangannya bernama si Boni.

Menjelang senja, dengan berderai air mata ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya ia sudah sangat berputus asa dan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Danau Toba. Sementara Si Boni yang juga mengikuti majikannya menuju tepi danau hanya bisa menggonggong karena tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Seruni.

Saat berjalan ke arah tebing di tepi Danau Toba, tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang batu besar hingga masuk ke dasarnya. Dan, karena berada di dasar lubang yang sangat gelap, membuat gadis cantik itu menjadi takut dan berteriak minta tolong kepada anjing kesayangannya. Sang anjing ketika melihat majikannya terjatuh terus-menerus menggonggong di sekitar mulut lubang dan  berlari ke rumah untuk meminta bantuan.

Sesampainya di rumah Si Boni segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan sudah berada di rumah. Sambil menggonggong, mencakar-cakar tanah dan mondar-mandir di sekitar majikannya, Si Boni berusaha memberitahukan bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

Sadar akan apa yang sedang diisyaratkan oleh si anjing, orang tua Seruni segera beranjak menuju ladang. Keduanya berlari mengikuti Si Boni hingga sampai ke tepi lubang tempat anak gadis mereka terperosok.

Tak berapa lama kemudian, sebagian besar tetangga telah berkumpul di rumah ayah Seruni untuk bersama-sama menuju ke lubang tempat Seruni terperosok. Mereka ada yang membawa tangga bambu, tambang, dan obor sebagai penerangan.

Seruni yang terjebak di dalam lubang, telah menguatkan hatinya untuk lebih memilih mati dibanding hidup menanggung beban malu karena menolak lamaran orang lain. Ia pun berteriak lantang dari dalam lubang, "Merapatlah..merapatlah.."

Diatas tepian lubang, sambil bercucuran air mata Ibu Seruni berkata pada suaminya, “Pak, lubangnya terlalu dalam dan tidak tembus cahaya. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak kita yang berkata: parapat, parapat batu…”

Sesaat setelah sang ibu mendengar sayup-sayuo suara anaknya dari dasar lubang, terjadilah gemuruh disekitar dinding lubang , perlahan dinding mulut lubang tersebut bergerak merapat dan mengubur sang gadis. Tidak berapa lama kemudian, terjadilah gempa.

Beberapa saat setelah gempa berhenti, di atas lubang yang telah tertutup itu muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Orang-orang yang melihat kejadian itu mempercayai bahwa batu itu adalah penjelmaan dari Seruni dan kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung”.

Konon di area batu gantung, pengunjung dilarang mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak senonoh karena akan membawa kesialan. Di dasar tebing, konon juga terdapat sebuah lubang yang dihuni oleh mahluk Bunian. Setiap festival Toba berlangsung, beberapa ketua adat memberikan sesaji di bawah batu gantung dan di gua kecil tempat mahluk Bunian tersebut berasal.

Dan, karena ucapan Seruni yang terakhir didengar oleh warga hanyalah “parapat, parapat, dan parapat”, maka daerah di sekitar Batu Gantung kemudian diberi nama Parapat. Kini Parapat telah menjelma menjadi salah satu kota tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara

              https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )

Gunung Giri Manik, Konon Tempat Turunnya Wahyu Ratu Tanah Jawa

 Tabir.com. Pertapan Giri Manik tepatnya berada di Desa Setren, Kecamatan Slogoimo, Kabupaten Wonogiri. Kisah purwo atau perwayangan sudah sangat kental di daerah ini.


Menurut Mbah Pardi, juru rawat pertapan. Di puncak Giri Manik terdapat pertapaan Semar dan Sendang Kanestren yang airnya diyakini
berkhasiat untuk mengobati segala penyakit. Tentunya bagi mereka yang memercayai dan telah mendapatkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

"Pada waktu itu Kyai Semar dan Dewi Kanestren sedang mengikuti junjungannya (Rajanya) untuk mencari turunnya wahyu.

 Sampailah mereka di Gunung Giri Manik, karena kelelahan dan banyak rintangan dari para jalmo moto (makluk jin, setan prakayangan), mereka memutuskan berhenti dan bersemedi untuk mengusir para jalmo moto tersebut. Sampai akhirnya bisa mendapatkan wahyu yang dicarinya itu," cerita Mbah Pardi.

Banyak yang mengatakan bahwa wahyu yang dimaksud adalah Wahyu Ratu Setanah Jowo. Melihat bentuk pertapan Giri Manik sepertinya biasa saja, hanya tumpukan batu yang disekelilingnya banyak ditumbuhi pohon pinus.

Tetapi bagi masyarakat sekitar dan orang yang memercayainya, pertapan Giri Manik sebagai tempat turunnya wahyu, derajat, pangkat, dan kewibawaan. Tempat ini juga dipercaya sebagai pertapan Alang-alang Kumitir (tempat bersemayamnya Sang Hyang Wenang).

Konon Pangeran Sambernyawa juga pernah bertapa di pertapan Giri Manik, terlihat ada petilasan (tempat singgah) yang dipercaya pernah disinggahi Pangeran Sambernyawa. 

Giri Manik sebagai tempat wisata religi yang banyak dikunjungi peziarah, terlebih pada hari-hari baik menurut tradisi Jawa seperti Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Selain wisata religi ada tiga wisata air terjun (Monik Moyo, Tejo Moyo, dan Condro Moyo) juga sebuah Goa yang dianggap sakral dan lokasinya pun terbilang sulit untuk dijangkau.

Setiap setahun sekali warga Kecamatan Slogohimo menjalankan ritual bersama yaitu "Memetri Tirto Susuk Wangan" yang tujuannya tidak lain untuk mengunkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan sumber air yang digunakan sebagai pengairan lahan pertanian.




           https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )

Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno







Tabir.com. Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gunung gunung, seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai Bengawan Solo.

Itulah sebabnya daerah ini sangat subur. Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno.

 Mereka yang beragama Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang kemduian menjadi Raja disana.

Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana. Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang.

Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun menurut Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut jelas apa nama kerajaannya.

Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).

Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan kemudian melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari Sanna sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk menguasai Kerajaan Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya memutuskan untuk membuat kerajaan baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.

Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan rajanya yang pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno

Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya.
Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.


Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. 

Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. 
Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun untuk Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:

  1. Prasasti Canggal, ditemukan di halaman Candi Guning Wukir di desa Canggal berangka tahun 732 M. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan disamping itu juga diceritakan bawa yang menjadi raja sebelumnya adalah Sanna yang digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanna).
  2. Prasasti Kalasan, ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh Raja Pangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha).
  3. Prasasti Mantyasih, ditemukan di Mantyasih Kedu, Jawa Tengah berangka 907M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Rakai Watukura Dyah Balitung yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, rakai Kayuwangi dan Rakai Watuhumalang.
  4. Prasasti Klurak, ditemukan di desa Prambanan berangka 782M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan Acra Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya.
Selain Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno juga banyak meninggalkan bangunan candi yang masih ada hingga sekarang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur.
Raja-raja Kerajaan Mataram Kuno
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai berikut:
  1. Sanjaya, pendiri Kerajaan Mataram Kuno
  2. Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra
  3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
  4. Rakai Warak alias Samaragrawira
  5. Rakai Garung alias Samaratungga
  6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
  7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
  8. Rakai Watuhumalang
  9. Rakai Watukura Dyah Balitung
  10. Mpu Daksa
  11. Rakai Layang Dyah Tulodong
  12. Rakai Sumba Dyah Wawa
  13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
  14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
  15. Makuthawangsawardhana
  16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Mataram Kuno berakhir

           
               https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )



Kisah Joko Tingkir yang Legendaris

  

Tabir.com.  Nama asli dari Joko Tingkir yaitu Mas Karebet. Bapak Joko Tingkir adalah murid Syekh Siti Jenar yang bernama Ki Ageng Pengging. Bapak Joko Tingkir memiliki rekan seseorang dalang yang bernama Ki Ageng Tingkir. Waktu Joko Tingkir dilahirkan, Ki Ageng tengah melakukan pergelaran wayang dengan Ki Ageng Tingkir. 




Tetapi sesudah pulang dari pertunjukan Ki Ageng Tingkir mendadak jatuh sakit serta wafat. Ki Ageng Pengging pernah dituduh juga sebagai pemberontak Kerajaan Demak hingga dihukum mati oleh Sunan Kudus. Sesudah Ki Ageng wafat, Nyai Ageng Pengging yang disebut ibu Mas Karebet juga wafat sesudah jatuh sakit. Mulai sejak tersebut Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir (istri Ki Ageng Tingkir). Sepanjang diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, Mas Karebet tumbuh jadi sosok pemuda yang sangatlah suka pada bertapa.
  
Mas Karebet juga dijuluki Joko Tingkir lantaran dia masih tetap muda jadi anak angkat Nyai Ageng Tingkir. Joko Tingkir juga berguru pada Sunan Kalijaga. Terkecuali pada Sunan Kalijaga, dia sempat juga berguru pada Ki Ageng Sela. Sesudah berguru, Joko Tingkir mau mengabdi ke kerajaan Demak. Disana Joko Tingkir tinggal di suatu rumah Kyai Gandamustaka. Kyai Gandamustaka adalah saudara Nyi Ageng Tingkir sebagai perawat Masjid Agung Demak serta berpangkat lurah ganjur. Lantaran Joko Tingkir pintar menarik simpati Raja Trenggana, pada akhirnya Joko Tingkir diangkat jadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.

Sesudah diangkat jadi kepala prajurit Demak, Joko Tingkir di beri pekerjaan untuk menyeleksi tentara baru yang bakal masuk jadi prajuritnya. Di antara calon tentara baru ada seorang yang bernama Dadungawu yang sangatlah sombong dengan kesaktiannya. Lantas, Joko Tingkir menguji kesaktian Dadungawuk. Tetapi dalam uji kesaktian, Dadungawuk tewas cuma dengan memakai Sadak Kinang. Mengakibatkan tewasnya salah satu calon prajuritnya, Joko Tingkir dipecat Sultan Trenggono dari ketentaraan serta diusir dari Demak.

Sesudah diusir dari Demak, Joko Tingkir berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro yang disebut saudara tua ayahnya. Sesudah tamat berguru, dia kembali pada Demak berbarengan ketiga murid yang lain, yakni Mas Manca, Mas Wila, serta Ki Wuragil. Dalam perjalanan, rombongan Joko Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge dengan memakai rakit. Mendadak nampak siluman buaya yang menyerang mereka. Tetapi dengan kesaktian ke empat murid itu, siluman buaya mampu untuk dikalahkan. Bahkan juga, siluman-siluman itu menolong Joko Tingkir mendorong rakit hingga ke maksud.
Ketika itu, Sultan Trenggono dengan keluarganya tengah melakukan wisata di Gunung Prawoto. Lantaran Joko Tingkir mau mencari simpati dari Trenggana untuk terima Joko Tingkir kembali di kerajaan Demak, dia melepas seekor kerbau hilang ingatan yang dinamakan Kebo Danu. Kerbau itu di beri mantra oleh Joko Tingkir lewat cara di beri tanah kuburan pada telinga kerbau. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, dimana tak ada prajurit yang dapat hentikan kerbau itu. Mendadak Joko Tingkir nampak serta hadapi kerbau hilang ingatan. Kerbau itu dengan gampang dibunuh ditangan Joko Tingkir. Atas layanan Joko Tingkir, Sultan Trenggono mengangkat kembali Joko Tingkir jadi lurah wiratama.
Joko Tingkir lahir saat Ki Ageng Tingkir, guru Ayahnya (Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenongo), jadi dalang wayang papar, oleh karena itu Joko Tingkir di sebut Karebet lantaran Wayang Papar yang terbuat dari kertas berbunyi “Kerebet-Kerebet” apabila tertiup angin waktu hujan. Ki Ageng Pengging berguru Pada Syech Siti Jenar, yang mengajarkan rencanaManunggaling kawulo gusti (Wahdatul Sujud) yang dikira melenceng dari ajaran Islam. Ki Ageng Pengging di eksekusi oleh Sunan Kudus atas Perintah Sultan Bintoro (Raden Patah). Teman dekat tunggal Guru Ki Ageng Pengging yaitu Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tarup, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Perlu, Ki Ageng Majasta, Ki Ageng Banyu biru, Ki Ageng Nglawean, Ki Ageng Talpitu.
Empat puluh hari lalu, Nyai Ageng Pengging Wafat, serta Karebet di bawa serta di asuh oleh Nyai Ageng Tingkir (yang juga telah Janda) di desa Tingkir, oleh karena itu dikenal juga sebagai Joko Tingkir. Dalam perjalanan ke Demak, Joko tingkir bersua dengan Sunan Kali Jaga lah yang meramalnya bahwa Nantinya dia bakal jadi Raja Besar di Jawa.

Bukanlah lantaran motif dendam ataupun yang lain, tetapi konflik di sini berlangsung lantaran satu ketidaksamaan pandangan dalam kemaslahatan pengetahuan Ma’rifatillah. Inilah simakannya, berubahnya karakter Arya Panangsang, berawal dari kematian gurunya Panglima Pasopati agung Sunan Kudus, serta mulai sejak itu juga sifatnya sangatlah keras, angkuh serta terasa paling sakti didunia. Hal sejenis ini baginya tak ada lagi Wali yang dapat menuntunnya terkecuali (Alm) gurunya.
Cerita pergantian karakter Arya Panangsang, bikin semua murid Wali yang lain terasa tercengang. Ya siapa yang tidak kenal dengan nama Arya Panangsang, seseorang panglima perang paling tangguh dengan semua kesaktian yang pernah ada, beliau juga seseorang yang sangatlah arif serta bijaksana dalam semuanya, tetapi dengan perubahannya sekarang ini bikin hati beberapa murid yang lain sangatlah terpukul.

Bagaimana tidak, Arya Panangsang senantiasa mengumbar emosinya dengan menantang seluruhnya juara sampai kerap bikin keonaran dimana-mana. Beberapa puluh bahkan juga beberapa ratus juara yang terasa tersinggung atas kesombongannya pasti selesai dengan kematian. Dalam situasi yg tidak menentu, salah satu murid Sunan Kali Jaga, yang bernama Joko Tingkir, menghadap gurunya untuk minta ijin manfaat melawan kesombongan Arya Panangsang.
“Wahai Joko Tingkir, janganlah kau sia-siakan hidupmu cuma lantaran Arya Panangsang, sebenarnya orang yang bakal kau hadapi yaitu hamba yang saat ini tengah zadabiyyah (Cuma ingat pada Allah) jika hingga kau menang jadi Allah murka kepadamu serta bila kau kalah, jadi dirimu bakal dilaknat oleh-Nya, lantaran melawan orang yang tengah jatuh cinta pada tuhan-Nya, diamlah sampai satu hari nantinya Allah mengijinkanmu”

Dengan taat Joko Tingkir, segera mengundurkan diri dari hadapan gurunya serta segera bertaubat pada Allah, atas praduga yang kurang baik pada diri Arya Panangsang. Juga Sunan Kali Jaga, sesudah kepergian muridnya beliau segera meminta panduan pada Allah, atas perilaku Arya Panangsang, yang dikira telah melampui batas Syar’i serta akidah.

Dalam situasi khusu’ mendadak Sunan Kudus, nampak di hadapannya : “Assalamu alaikum ya Autadulloh” yang segera dibalas oleh Sunan Kali Jaga : “Waalaikum salam ya ahlul Jannah”
“Angger KaliJogo, doamu hingga menggetarkan tiang surga serta alamul Arsy, saya mengerti apa sebagai beban dihatimu, tetapi ketahuilah,,,, Allah sudah menggariskan lain di Lauhul-Mahfud, bahwa Arya Panangsang, bakal jadi hamba solehnya dialamul Jannah lantaran mati ditangan muridmu, sesama Waliyulloh. Datangilah istrinya serta rayu dia supaya suaminya ingin dengarkan apa yang kau inginkan”

Kemudian Sunan Kali Jaga, segera pergi meninggalkan tempat tinggalnya menuju istri Arya Panangsang yang bernama Retno Kencono Wungu, putri dari Dewi Lanjar, Penguasa Laut Utara. Sesampainya di tempat maksud, nyatanya Arya Panangsang, segera menunggunya : “Wahai Quthbul Autad, saya tahu kau barusan bersua dengan guruku serta merekomendasikan supaya istriku dapat menasehatiku, tetapi ketahuilah!!! saya tak dapat dinasehati olehmu terkecuali dengan kematian”

Dengan sambutan yang kurang mengenakkan hati ini pada akhirnya Sunan Kali Jaga, segera undur pamit. Setelah itu beliau tak segera pulang tetapi bersilaturrohmi kerumah istrinya Joko Tingkir, yang bernama Dewi Nawang Wulan Sari, putri dari ibu agung Nawang Wulan, Penguasa Pantai Selatan. Tahu yang datang gurunya, suami istri ini sangatlah bersuka cita serta cepat-cepat menjamunya penuh penghormatan. Sang Sunan juga segera menceritakan perjalanannya mulai sejak bersua dengan Sunan Kudus sampai hingga datang kerumah Arya panangsang.



         https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A  (KI COKRO ST )

Sekelumit Legenda/Mitos Sunan Lawu


 Sekelumit Legenda/Mitos Sunan Lawu

Misteri Gunung Lawu 
Tabir.com. Ada beberapa versi cerita sunan lawu....maka jarang saya posting, karena akan menimbulkan banyak pertanyaan... salah satunya menurut Pusaka Jawatimuran, saya sampaikan sebagian kisahnya sbb : “Wahai anakku Prabu Brawijaya. Telah datang waktunya kamu kembali ke alam dewa-dewa. Tugasmu di dunia telah selesai dan pulung keraton telah pindah ke Bintara. Untung.lah yang mendapatkannya ialah puteramu sendiri R. Patah. Kamu menjadi penutup ratu Budha, anakmu R. Patah menjadi raja Islam yang pertama. Oleh karena itu cepatlah engkau moksa, karena telah tersedia kerajaan baru bagimu.”
Lama Prabu Brawijaya duduk terpekur, mengatur pikiran dan perasaannya. Baginda telah jelas menerima perintah dewa dewa. Waktu pergi telah datang. Waktu yang telah lama dinantinantikan. Tetapi mengapa datangnya masih terasa tiba-tiba. Baginda terpekur, mengatur perpisahannya, diikuti oleh semadi yang Iebih khidmat, lebih tenang dan tenteram. Baginda bersedia moksa. Di angkasa terdengar suara yang meledak, yang keras tiada tara. Seluruh kota Majapahit berguncang-guncang. Maki.n lama makin pekat .. . makin pekat. Sri Baginda telah moksa dengan iieluruh istananya. Semua keluarganya, isteri-isteri dan anak-anak yang masih belum dewasa dibawa serta oleh Baginda, pindah ke kerajaan yang baru. Kata orang yang tahu akan alam yang gaib, Sri Baginda pindah ke gunung Lawu, dan berganti gelar menjadi Sunan Lawu x).
Keesokan harinya, pada waktu ayam mulai berkokok, R. Bondan Surati dengan dua orang pelayannya bernama Kanta dan Kanti masuk ke istana hendak menghadap Baginda, tetapi didapatinya istana telah hilang, yang tinggal hanyalah sebuah danau tepat di temp at istana dahulu. Rasa kosong merayap ke dalam hatinya. Ia merasa, bahwa Sri Baginda telah melarangnya melawan musuh, buktinya tiada sebuah pusaka pun yang tertinggal. Oleh karena itu ia berniat meninggalkan kerajaan, hanya diikuti oleh Kanta dan Kanti.
Tetapi · sebenarnya masih ada yang ditinggalkan Sri Baginda, yaitu permaisuri Dwarawati, karena permaisuri itu telah Islam dan tinggal di istana yang lain yang bernama Gentan. Delapan hari kota Majapahit diliputi oleh kegelapan. Telah tersiar bahwa prabu Brawijaya telah moksa. R. Bondan Surati telah lolos. Para adipati di bawah pimpinan Arya Simping memutuskan untuk menyerah . Bahkan Ratu Dwarawati menyetujui putusan itu . Hanyalah putera-puteri Baginda tidak mau menyerah dan melarikan diri pada waktu malam. Oleh karena itu segera mereka mengumpulkan senjatanya untuk diserahkan kepada senapati Bintara. Pada hari yang baik dengan tak bersenjata sebilah pun para dipati di bawah pimpinan Arya Simping menyambut tentara Bintara dan langsung menemui Patih Wanasalam, yang membawa mereka menghadap Adipati Natapraja untuk menyatakan takluknya. Sang adipati sangat heran mendengar, bahwa Sri Baginda telah moksa. Iapun sangat sedih, ingat bahwa Sri Baginda itu masih ayahnya sendiri.
Sunan Lawu menurut wikipedia, beda lagi ,
Puncak Lawu Hargo Dumilah yang Wingit
Sebagian kisahnya sbb:Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang kepala dusun yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Merekapun pergi bersama ke puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah, "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus mundur, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib dengan wilayah ke barat hingga wilayah gunung Merapi/gunung Merbabu, ke timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak.
Tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini.
Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya. Dan mungkin masih ada beberapa versi lagi mengenai Sunan Lawu yang tidak kami wedar disini.  


          https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )

Makam Kramat Nyai Mranggi Banyak di Kunjungi Peziarah

Tabir.com. Rupanya saya berjodoh untuk berkunjung ke Makam Nyai Mranggi yang berada di sebuah puncak perbukitan tidak begitu tinggi di Grumbul Wanasepi, Binangun, Banyumas. Meskipun tidak mudah untuk menemukan lokasi Makam Nyai Mranggi ini dan sempat tersesat beberapa kali, namun akhirnya lokasi makamnya bisa ditemukan juga.

Sesungguhnya tujuan semula adalah ke Makam Kyai Mranggi. Setelah menanyakan arah di dekat Alun-alun Banyumas, kami meluncur ke arah Kejawar dan ketika sampai di pompa bensin sekitar 2 km dari Alun-alun Banyumas arah ke Selatan, Tri bertanya kepada seorang penduduk. Sayangnya ia bertanya pada orang yang salah.

Kami lewat Alun-alun Banyumas lagi, dan berbelok ke arah Barat. Setelah melewati perkampungan penduduk, mobil mengarah ke Barat Daya melewati bulakan sepanjang 3,5 km dengan pemandangan perbukitan hijau yang cukup menghibur.
Alih-alih ke Makam Kyai Mranggi, kami diarahkan ke tempat yang kemudian saya ketahui sebagai Makam Nyai Mranggi. Kedua tempat ini letaknya berjauhan dan berlawanan arah. Setidaknya terpisah sejauh 7,5 km. Entah mengapa kami tidak melakukan cek silang ke penduduk lainnya, sehingga mobil langsung berbalik arah.
Selepas bulakan kami menjumpai permukiman penduduk lagi, dan jalanan mulai menanjak dan terus menanjak sampai lebih dari 3 km sebelum akhirnya kami berhenti untuk bertanya arah. Belokan ke Makam Nyai Mranggi sudah terlewati, sehingga kami pun berbalik arah dan akhirnya menemukan belokan ke kanan (belok ke kiri jika dari Banyumas), masuk ke jalan tanah yang diperkeras.
Tidak adanya papan nama, membuat jalan setapak ke atas bukit dimana Makam Nyai Mranggi berada pun terlewati. Itu kami ketahui setelah bertanya kepada seorang penduduk setelah sekitar 600 meter menyusur jalan dusun itu.

Undakan tanah tanpa tatanan batu yang saya tapaki untuk menuju ke atas bukit dimana Makam Nyai Mranggi berada.
Beruntung musim hujan belum lagi tiba, sehingga meskipun sedikit sulit untuk menapaki undakan curam dan sempit itu namun tidak ada kekhawatiran kaki akan tergelincir.

Sesampainya di atas, terlihat hanya ada beberapa pohon yang batangnya lumayan besar, selain pemandangan perbukitan hijau di kejauhan, dan sebuah lintasan sempit melintang arah kiri dan kanan.
Di sini masih belum ada petunjuk arah ke Makam Nyai Mranggi.

Menengok ke sebelah kiri ada sebuah bangunan kecil dengan dinding tembok dan atap seng yang semula saya kira cungkup Makam Nyai Mranggi. Namun ternyata bukan.
Lebih jauh ke kiri lagi ada sebuah bangunan menyerupai rumah. Ke sana lah kami menuju, meskipun tidak yakin bahwa kami menuju ke tempat yang benar.

Papan nama Makam Nyai Mranggi yang baru terlihat ketika sudah dekat ke rumah itu menegaskan bahwa kami tidak salah jalan. Tidak apalah kami gagal pergi ke Makam Kyai Mranggi karena setidaknya kami menemukan makam sang Nyai.
Suasana sepi. Pintu tertutup ketika kami tiba namun terbuka ketika saya dorong. (Foto di atas diambil saat kami meninggalkan tempat ini). Tidak ada orang di dalam. Namun tidak lama kemudian muncul seorang peziarah. Ia rupanya sudah beberapa hari bertirakat di tempat ini. Kuncennya sendiri tidak muncul sampai kami pergi.

Tri (kaos orange) dan pria peziarah itu di dalam rumah Makam Nyai Mranggi. Sayang catatan tentangnya yang tersimpan di MemoPad BB saya terhapus ketika saya install ulang OS-nya lantaran hang terus.
Apa yang masih tersisa di dalam ingatan adalah bahwa ialah yang membuat papan bertuliskan aksara Jawa yang menempel pada dinding, sudah sering datang menyepi ke tempat ini, dan bahwa ia pernah beberapa kali melihat penampakan sang Nyai yang mengenakan pakaian berbeda-beda.

Tulisan beraksara Jawa pada dinding rumah Makam Nyai Mranggi buatan pria itu. Di sebelahnya terdapat tulisan berbunyi ‘Embah Ny Mranggi’.
Nama gadis Nyai Mranggi adalah Rr. Ngaisah, putri bungsu pasangan Raden Haryo Baribin (putera Brawijaya IV, Raja Majapahit) dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas (putri bungsu Prabu Dewa Niskala, Raja Galuh Kawali, Pajajaran).
Kakak tertua Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah Raden Banyak Cotro, yang mengembara mencari pasangan hidupnya sampai ke Kerajaan Pasir Luhur (di sisi Barat Kota Purwokerto sekarang). Dalam pengembaraan itu ia dikenal dengan nama Raden Kamandaka dan sempat menjadi Lutung Kasarung, sebelum akhirnya menikahi putri Raja Pasir Luhur bernama Dewi Ciptoroso.
Jika legenda Raden Kamandaka dan Lutung Kasarung sangat terkenal di daerah Banyumas, tidak demikian dengan nama Kyai dan Nyai Mranggi. Setidaknya begitulah yang saya rasakan, karena nama itu baru saya kenali setelah mulai menulis tentang tempat-tempat wisata Banyumas yang saya kunjungi.
Ruangan tengah Makam Nyai Mranggi.
Tidak ada yang menarik perhatian di ruangan tengah Makam Nyai Mranggi ini. Hanya ada sebuah sajadah di atas lantai yang dilapis karpet hijau. Lubang di ujung ruangan adalah pintu menuju ke Makam Nyai Mranggi. Suasana remang cenderung suram membuat tempat ini terasa wingit. Bagaimana pun saya meneruskan langkah memasuki ruang Makam Nyai Mranggi sendirian.

Inilah Makam Nyai Mranggi yang terkesan tua dan sederhana. Jauh dari kesan agung sebuah kubur keturunan raja.
Tulisan pada sisi makam hanya berbunyi: “Dilarang masuk / istirahat di dalam kecuali ada izin !!!”.
Makam Nyai Mranggi mestinya juga dimuliakan oleh Pemda Banyumas, sebagaimana dimuliakannya makam Joko Kahiman, Bupati Pertama Banyumas, yang saya kunjungi kemudian, lantaran hubungan yang sangat dekat diantara keduanya.
Joko Kahiman, yang kemudian juga dikenal dengan nama Adipati Mrapat, adalah putra Raden Banyak Sosro (kakak Nyai Mranggi), yang sejak kecil diangkat anak oleh Kyai serta Nyai Mranggi sampai ia dinikahkan dengan sepupunya sendiri, putri Adipati Anom Wirautama di Wirasaba (kakak tertua Nyai Mranggi).

Botol-botol kecil minyak wangi bawaan peziarah tampak berjajar di sisi Makam Nyai Mranggi.
Bentuk gunungan seperti batu hitam di sebelah kiri Makam Nyai Mranggi tampaknya adalah gundukan sisa pembakaran dupa atau kemenyan yang disulut peziarah ketika berada di tempat ini. Tumpukan bunga merah putih yang belum mengering juga terlihat pada bagian atas makam.
Makam Kyai Mranggi dan Makam Nyai Mranggi yang letaknya berjauhan itu konon karena Nyai Mranggi pergi meninggalkan rumah setelah suaminya wafat, hingga suatu hari ia tiba di Grumbul Wanasepi dan tinggal di sini sampai ia wafat dan dimakamkan di puncak perbukitan ini. Semoga saja Makam Nyai Mranggi bisa segera mendapat perhatian yang lebih layak, sebagai bagian dari sejarah Banyumas yang tidak boleh dilupakan.