Tabir.com. Ada terbersit kegembiraan, dan mungkin rasa haru, ketika Pak Jum berhasil menemukan lokasi Makam Ki Ageng Pengging Sepuh Boyolali yang nama “resminya” Makam Sri Mangkurung Prabu Handayaningrat Hing Pamungkas, atau Makam Ki Ageng Pengging Handayaningrat, di sebuah dusun di wilayah Pengging Kamardikan, Kecamatan Banyudono, Boyolali.
Betapa
tidak, karena nama itu menyegarkan ingatan masa kecil akan tokoh yang memiliki
aji pamungkas Sasra Bhirawa. Ki Ageng Pengging Sepuh adalah guru Mahesa Jenar
atau Rangga Tohjaya, tokoh utama kisah legendaris “Nagasasra dan Sabuk Inten”
karya SH Mintardja.
Handayaningrat adalah ayah Kebo Kanigara, Kebo Kenanga
(ayah Karebet), dan Kebo Amiluhur.
Ketika saya
datang pagar makam terkunci, namun berkat informasi penduduk saya menemukan
rumah kuncen yang tak jauh dari makam. Kuncen bernama Ki Narto Mudjiono itu
sudah sepuh, lahir sebelum tahun 40-an, dan pendengarannya sudah berkurang.
Namun Ki Narto tampak memiliki kepercayaan diri yang besar, dan punya gaya
tersendiri dalam berbicara.
Ketika saya
meminta ia bercerita tentang makam ini, Ki Narto menjawab dengan sangat
hati-hati dan sedikit menegang eskpresinya. Dikatakannya bahwa ia tak ingin apa
yang disampaikan olehnya dianggap sebagai sebuah kebenaran, namun hanya
merupakan pendapat pribadinya saja berdasar kisah yang ia terima, karena orang
lain bisa memiliki pendapat berbeda.
Pangeran
Handayaningrat menikah dengan Retno Pembayun, puteri sulung Brawijaya Pamungkas
atau Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit. Dari perkawinan itu lahir Kebo
Kanigara, Kebo Kenanga, dan Kebo Amiluhur. Sumber lain menyebutkan ia memiliki
lima anak, yaitu Retno Pandan Kuning, Retno Pandansari, Kebo Kanigara, Kebo
Kenanga, dan Kebo Sulastri.
Tulisan di
Wikipedia menyebut nama asli Ki Ageng Pengging Sepuh adalah Sharif Muhammad
Kebungsuan, putra bungsu Sayyid Husein Jumadil Kubro dengan Putri Jauhar dari
Kerajaan Muar Lama, Malaysia. Muhammad Kebungsuan konon pendiri Kerajaan
Maguindanao di Filipina. Namun ada pula sumber yang menyebut nama aslinya
adalah Jaka Sengara.
Pangeran
Handayaningrat merupakan kepala tanah perdikan Pengging dan dikenal sebagai Ki
Ageng Pengging Sepuh setelah ia wafat dan Ki Kebo Kenanga menggantikannya.
Beliau tewas setelah tertusuk keris Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus, pada
perang antara Demak dan Majapahit. Sunang Ngudung kemudian tewas oleh Adipati
Terung.
Mungkin
karena Ki Ageng Pengging Sepuh tewas karena racun warangan keris, maka Mahesa
Jenar dikisahkan oleh SH Mintardja sebagai orang yang kebal segala macam racun,
yang paling kuat sekalipun. Itu karena ia telah mendapat sari pati bisa ular
Gundala Seta dari Ki Ageng Sela, sahabatnya.
Pemandangan pada tiga makam utama di bawah Pohon Kepuh yang tinggi besar dan rindang. Pohon yang sangat mengesankan itu menurut Ki Narto telah berusia lebih dari 600 tahun. Dua makam bersebelahan adalah Makam Ki Ageng Pengging Sepuh dan isterinya Retno Pembayun. Satu lagi adalah Makam Kebo Amiluhur, bungsu Ki Ageng yang tidak memiliki anak.
Jika Kebo
Kenanga masuk Islam dan menjadi murid terbaik Syekh Siti Jenar, maka Kebo
Kanigara tetap setia pada agama lama (Hindu) dan konon meninggal saat bertapa
di puncak Gunung Merapi. Yang menarik adalah adanya sebuah makam di pinggir
pagar keliling yang disebut sebagai makam Widuri, yang dikenal sebagai anak
tunggal Kebo Kanigara.
Karena
menjadi murid Syekh Siti Jenar dan tidak mau tunduk pada kekuasaan Sultan
Demak, Kebo Kenanga dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Demak, sebagaimana
dialami oleh Syekh Siti Jenar. Kisah kematian Kebo Kenanga dan Syekh Siti Jenar
dan dialog yang menyertainya menjadi cerita klasik yang selalu menarik untuk
dibaca.
Kekuasaan
Demak tak berlangsung lama dan digantikan Kesultanan Pajang yang didirikan
Karebet, anak Kebo Kenanga. Kesultanan Pajang juga tak berumur panjang dan
digantikan Mataram yang didirikan Sutawijaya dan Ki Ageng Pemanahan. Sutawijaya
adalah cucu Ki Ageng Henis atau cucu buyut Ki Ageng Sela yang
juga keturunan langsung Raja Brawijaya V.
Saya kira
patung ini adalah Arca Durga Mahisasuramardini, isteri Siwa yang berdiri di
atas kerbau jelmaan Asura. Pada arca utuh, empat tangan kanan Durga memegang
Camara (kebut lalat), Cakra, Trisula serta menarik ekor lembu, dan empat tangan
kirinya membawa Sangkha (kerang), Kadga (pedang), Parasu (kapak), serta menarik
tangan raksasa kerdil yang keluar dari kepala lembu. Raksasa kerdil itu masih
terlihat pada patung di atas.
Penelusuran
tentang makam ini membawa saya kembali ke cerita SH Mintardja tentang tokoh
Panembahan Ismaya di Padepokan Karang Tumaritis. Bersama Kebo Kanigara, Mahesa
Jenar membongkar rahasia Panembahan Ismaya yang ternyata adalah Pasingsingan
Sepuh dan sejatinya bernama Raden Buntara, adik Brawijaya V dari garwa ampeyan.
Raden
Buntara menyepi ke Karang Tumaritis karena difitnah sebagai pengganggu isteri
seorang tumenggung yang mengikuti Raja Brawijaya V meningkir ke daerah Gunung
Kidul setelah Majapahit runtuh. Itu lantaran Raden Buntara mencium rencana
jahat sang tumenggung untuk menguasai harta benda yang dibawa sang raja sebagai
bekal menyepi.
Sayang Raja
Brawijaya V dan Sultan Trenggana tak percaya pada keterangan Raden Buntara, dan
hanya seorang jajar tua yang mempercayainya, namun jajar itu pun dibunuh oleh
komplotan sang tumenggung. Raden Buntara akhirnya menyepi dan selalu
menggunakan topeng ketika berkelana serta menggunakan nama Pasingsingan, nama
jajar tua yang telah mati itu.
Dalam kisah
itu, Panembahan Ismaya mengatakan bahwa Ki Ageng Pengging Sepuh adalah
keponakan yang paling dekat dengannya, sehingga ketika Kebo Kanigara masih
kecil ia sering mendengar ayahnya menyebut nama Eyang Buntara.
Adalah merupakan
sebuah kebahagiaan yang tak ternilai harganya, ketika sebuah perjalanan dan
kunjungan ke Makam Ki Ageng Pengging Sepuh Boyolali ini telah mampu
menghidupkan kembali kenangan dan kisah masa lalu yang telah ikut mewarnai dan
membentuk pikiran dan rasa kecintaan pada romantisme sejarah negeri yang hebat
ini.
https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A (KI COKRO ST)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar