Alun-Alun Banyumas |
Tabirnews.com. Sejarah asal mula wong Banyumasan alias asal mula orang Banyumas yang merupakan hasil rangkuman penulusuran di internet. Untuk sharing kali ini selanjutnya Banyumas akan disebut Banyumasan, istilah ini untuk menggambarkan tentang orang dengan karakteristik “Banyumasan” artinya bukan hanya orang yang bermukim di wilayah Kabupaten Banyumas saja karena Budaya Banyumasan itu meliputi daerah di luar Kabupaten Banyumas
Berdasarkan sumber dikatakan bahwa nenek moyang orang Banyumasan berasal dari daerah Kutai
Kalimantan timur sebelum periode Kerajaan Kutai Hindu, alias masih zaman pra
Hindu.
Berdasarkan catatan Van der Meulen Kemudian pendatang-pendatang tersebut masuk ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi mendarat di Cirebon, kemudian masuk ke pedalaman. Sebagian menetap di sekitar Gunung Cermai dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan dan menetap di sekitar Gunung Slamet dan Lembah Sungai Serayu.
Pendatang yang menetap di sekitar
Gunung Cermai selanjutnya mengembangkan peradaban sunda sedangkan pendatang
yang menetap di sekitar Gunung Slamet kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba yang didirikan
di Gunung Slamet ini disebut-sebut merupakan kerajaan yang pertama di Jawa
Tengah dan keturunannya bakal menjadi penguasa dari kerajaan-kerajaan yang ada
di Jawa.
Kerajaan Galuh Purba didirikan pada
sekitar abad Ke-1 M di Gunung Slamet berkembang sampai dengan abad ke-6 M
dengan kerajaan-kerajaan kecil dengan nama Galuh didepannya. Antara lain
kerajaan :
- Kerajaan Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di
Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di
Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di
Medang Kamulan
- Kerajaan Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di
Bagolo
- Kerajaan Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di
Medangkamulyan
- Kerajaan Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah, ibukota di
Pataka
- Kerajaan Galuh Nagara Tengah lokasi di Cineam,ibukota
di Bojonglopang
- Kerajaan Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran),
ibukota di Imbanagara
- Kerajaan Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di
Karangkamulyan
Kerajaan Galuh Purba mempunyai
wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes,
Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen
,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, karena
pamor kerajaan Galuh Purba menurun kalah pamor dynasti Syilendra di Jawa Tengah
yang mulai berkembang, kemudian ibukota kerajaan Galuh Purba pindah ke Kawali
(dekat garut) kemudian disebut Kerajaan Galuh Kawali.
APertunjukan Seni Tradisional Banyumas |
Pada saat itu di wilayah timur
berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Galuh Kalingga sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di wilayah barat
berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari kerajaan
Salakanegara.
Pada masa Purnawarman menjadi Raja
Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada
saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman kerajaan bawahan Tarumanegara
mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh Kawali. Pada masa Tarumanegara
Pemerintahan Raja Tarusbawa, Wretikandayun Raja Galuh Kawali memisahkan diri
(merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga,
kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan Banjar Pataruman.
Kerajaan Galuh ini yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa
Barat.
Meskipun dalam perkembangannya
Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi Kerajaan besar yaitu Kalingga di Jawa
Tengah dan Galuh di Jawa Barat, hubungan keturunan Galuh Purba tetap terjalin
dengan baik dan terjadi perkawinan antar Kerajaan sehingga muncul Dinasti
Sanjaya yang kemudian mempunyai keturunan raja-raja di Jawa.
Wilayah Kerajaan Galuh Purba sebelum
pindah ke Kawali mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari
Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap,
Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan kajian bahasa yang
dilakukan oleh E.M. Uhlenbeck, 1964, dalam bukunya : “A Critical Survey of
Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff,
bahasa yang digunakan oleh “keturunan Galuh Purba” masuk ke dalam Rumpun Basa
Jawa Bagian Kulon yang meliputi :Sub Dialek Banten Lor
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa
disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Bila kita lihat dari sejarah
tersebut, diperoleh informasi bahwa perkembangan peradaban Banyumasan sudah
berkembang sedemikian jauh sebelum masa-masa Kerajaan Majapahit. Artinya
peradaban budaya dan bahasa Banyumasan sudah sangat tua jauh sebelum Kerajaan
Mataram Islam yang kemudian terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Pada zaman Kesultanan Demak (1478 –
1546), wilayah Banyumasan terdiri dari beberapa Kadipaten, diantaranya
Kadipaten Pasirluhur dengan Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba
dengan Adipatinya Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat
Sultan Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang
yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi secara
militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah Barat, Sultan
Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai Panglima Komando Wilayah
Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing
(Wonosobo). Sebagai salah seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati
Pasirluhur dianugrahi gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya
yang bernama Wirakencana diangkat menjadi Patih.
Setelah Sultan Trenggono wafat,
Kesultanan Demak terpecah menjadi 3 bagian, salah satunya adalah Pajang yang
diperintah oleh Joko Tingkir dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Pada
masa ini, sebagian besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang.
Mengikuti kebijakan pendahulunya,
Sultan Adiwijaya juga mengangkat Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat
Wirakencana, menjadi Senopati Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II.
Sementara itu Adipati Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang
putranya ( putra menantu ) bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan
Adiwijaya menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, beliau menjadi
Adipati Wirasaba ke VII.
Menjelang berakhirnya kejayaan
kerajaan Pajang dan mulai berdirinya kerajaan Mataram (1587), Adipati Wargo
Utomo II menyerahkan kekuasaan Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya,
sementara beliau sendiri memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten
Banyumas dan beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.
Warga Bayumas |
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas
inilah yang berkembang pesat, telebih setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke
Sudagaran – Banyumas, pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten
lainnya semakin mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram, Kadipaten-Kadipaten
di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan Mataram.
Kekuasaan Mataram atas
Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tidak secara otomatis memasukkan
wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar dalam” kekuasaan Mataram sehingga
Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan
penduduk Mataram pun menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara
Kulon.
Sebelum Belanda masuk, wilayah
Banyumasan disebut sebagai daerah Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah
meliputi antara Bagelen (Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut
Mancanegara Kulon karena pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah
Surakarta atau wilayah wetan.
Terhitung sejak tanggal 22 Juni
1830, daerah Mancanegara Kulon ini secara politis masuk di bawah kontrol
pemerintah kolonial Belanda, itulah awal penjajahan Belanda, sekaligus akhir
dari pendudukan kerajaan Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati
di wilayah Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka
selanjutnya dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari
kalangan penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.
Pemerintahan di wilayah Banyumasan
diatur berdasarkan Konstitusi Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan
bahwa pemerintahan umum di Hindia Belanda (Indonesia) dilakukan oleh Gubernur
Jenderal atas nama kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif
yang berhak mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda,
termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah
Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833).
Upaya untuk mengontrol para Adipati
ini sebenarnya agar Belanda mudah melakukan mobilisasi rakyat untuk
dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik Belanda yang lebih dikenal dengan
tanam paksa. Persiapan pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah
Banyumasan dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn.
Hallewijn tiba
di wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan
penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu antara
lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai komandan
pasukan.
Tanggal 20 September 1830, Hallewijn
memberikan laporan umum hasil kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal
De Kock di Sokaraja, diantara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan
wilayah Banyumasan yang meliputi (dari timur) : Kebumen, Banjar (Banjarnegara),
Panjer, Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adireja, Patikraja,
Purwakerta (Purwokerto),
Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang sampai ke
Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur), termasuk juga di dalamnya tanah-tanah Perdikan
(daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada pertemuan di Sokaraja
itulah akhirnya diresmikan berdirinya Karesidenan Banyumas yang meliputi
sebagian besar wilayah mancanegara kulon, selanjutnya tanggal 1 November 1830
de Sturler dilantik sebagai Residen Banyumas pertama.
Pada tanggal 18 Desember 1830
melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G. van den Bosch, Karesidenan Banyumas
diperluas dengan dimasukkannya Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau
Nusakambangan, Madura (sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari
(sebelumnya termasuk wilayah Tegal).
Untuk mengefektifkan jalannya
pemerintahan, pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831
membentuk 4 Regentschap (Kabupaten) di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu,
Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang
masing-masing dipimpin oleh seorang Bupati pribumi. Selain itu Residen de
Sturler juga melakukan perubahan ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling
yang berfungsi sebagai Asisten Residen di masing-masing Kabupaten.
Di antara yang mengalami perubahan
nama adalah Prabalingga menjadi Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi
Dayoehloehoer dan Banjar menjadi Banjarnegara, selanjutnya wilayah Banjarnegara
diperluas dengan memasukkan Distrik Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan
menjadi sebuah Kabupaten.
Pembentukan Afdeling meliputi,
Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu
Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat
sebagai Asisten Residen di Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati
Ajibarang Mertadiredja II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga
Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara
masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah
wilayah yang meliputi 8 Kabupaten yaitu : Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap,
Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.
Ebeg, Seni Tradisional Banymasan |
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas
tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya
masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat terkait dengan karakter
masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi.
Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang pada
dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus
(kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan
masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat
Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar.
Penghormatan kepada orang yang lebih
tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan santun
dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme memang
terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan. Selain
egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta
berterus terang atau biasa disebut Cablaka / Blakasuta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar