Kamis, 28 April 2016

Tombak Kyai Upas, Konon Pusaka Kabupaten Tulungagung



Tabir.com.  Tombak Pusaka Kyai Upas, Pusaka Kabupaten Tulungagung. Kyai upas merupakan nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang tak kurang dari 5 meter. 



Tombak Pusaka Kyai Upas ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat, putra Pangeran Notokoesoemo yang menjadi menantu Sultan Jogyakarta Sr Sultan Hamengku Buwono II. Ketika R.T. Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang), Tombak Pusaka Kyai Upas dibawanya dari Mataram ke Tulungagung. Disamping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.

Menurut kepercayaan masyarakat lokal, Pusaka dan pengiring ini tak boleh dipisahkan dan sampai kini masih tersimpan di bekas pensiunan Bupati Pringgokusumo di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.
Semenjak dari zaman R.M Tumenggung Pringgodiningrat sampai kini, Tombak Pusaka Kyai Upas dan pusakan pengiringnya Kyai Jinggo Pengasih tetap dipelihara baik– baik, turun temurun kepada R.M. Djayaningrat (Bupati ke V) lalu kepada R.M Somodiningrat (Bupati ke VI) kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke VIII) dan selanjutnya diwariskan kepada adiknya ialah R.M Tumenggung Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).
Usai R.M.T Pringgokoesoemo pensiun pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada puteranya yang bernama R.M Moenoto Notokoesoemo, Komisaris Polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tangan R.P.A Sosrodiningrat Bupati Tulunngagung yang ke XIII, menantu R.M.T Pringgokoesoemo. Kemudian pada jaman Jepang diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah R.A Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.

Baik kalangan bupati-bupati lama, dari keluarga Pringgokoesoemo ataupun masyarakat Tulungagung, memliki suatu kepercayaan bahwa pusaka kyai Upas merupakan pusaka bertuah penolak banjir dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten Tulungagung. Cerita – cerita mengenai hal ini kesaktian pusaka kyai Upas diantaranya yakni saat R.M. Moesono masih kanak-kanak dan berkumpul serumah dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo. Waktu itu pernah diberi keterangan bahwa sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami banjir besar sampai air masuk ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada waktu itu pusaka Kyai Upas tidak berada di Tulungagung melainkan dibawa oleh R. Pringgokoesoemo ketika masih menjabat Wedono di Pare (Kediri). Masyarakat mempunyai kepercayaan bilamana pusaka Kyai Upas dibawa kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang. Pendapat itu ternyata benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono Pare diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka Kyai Upas ikut diboyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.

Pada tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa, ketika itu Pusaka Kyai Upas pada waktu itu dijaga tidak berada di Tulungagung lantaran dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara hingga masuk ke kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman. Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat banjirnya Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak berada di tempatnya. Dengan segera beliau pergi ke Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka itu ditaruhnya didalam mobil namun mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah kaca mobil bagian depan dan belakang. Sesudah pusaka kembali ke Tulungagung, maka banjirpun surut.

Pada tahun 1946 Bapak Gubernur Soerjo pernah menyerukan kepada rakyat seluruh Jawa Timur agar semua pusaka-pusaka daerah yang ampuh milik rakyat dikeluarkan dan dipergunakan untuk membendung kemajuan gerak tentara kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali.


Ketika itu datanglah utusan Bung Tomo yang bernama Nangkulo beserta 2 orang temannya ke Tulungagung menghadap P.A Sosrodhiningrat, Bupati Tulungagung. Mereka mohon diizikan membawa Kyai Upas ke garis depan. Lalu oleh P.A Sosrodhiningrat Pusaka diserahkan lalu dibawa ke Somobito. Dalam kenyataannya, musuh tidak terus maju, tetapi berhenti di desa Curahmalang. Kyai Upas berada di garis depan selama kurang lebih 3 bulan dan diantarkan kembali ke Tulungagung oleh R. Moesono, Bupati Surabaya dengan didampingi oleh R.M. Moenoto Notokoesoemo, Komisaris Polisi Kota Surabaya (pewaris pusaka) dengan naik mobil dinas yang disupiri oleh orang bernama Badjuri (juga sekarang telah pensiun dan bertempat tinggal di Wonokromo Surabaya). Saat Kyai Upas dibawa ke garis depan didampingi pula oleh 2 buah pusaka berupa tombak berasal dari Pringgopuran desa Kutoanyar namun 2 puasaka ini tidak kembali (hilang).
Pusaka Kyai Upas telah dipelihara dengan secara tradisional oleh keturunan Bupati Ngrowo. Tugas pemeliharaan ini termasuk suatu kewajiban. Adapun yang menerima penyerahan tugas paling akhir berdasarkan keputusan bersama dari keluarga Bupati Pringgokoesoemo adalah R.M Moenoto Notokoesoemo. Tugas ini juga dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Pada saat P.A Sosrodiningrat masih menjabat Bupati Tulungagung, upacara siraman pada tiap tahunnya dilaksanakan dengan sangat teliti menurut tradisinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar