Tabir.com.
Tombak
Pusaka Kyai Upas, Pusaka Kabupaten Tulungagung. Kyai upas merupakan nama sebuah
pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang tak kurang dari 5 meter.
Tombak Pusaka Kyai Upas ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh R.M.
Tumenggung Pringgodiningrat, putra Pangeran Notokoesoemo yang menjadi menantu
Sultan Jogyakarta Sr Sultan Hamengku Buwono II. Ketika R.T. Pringgodiningrat
diangkat menjadi Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang), Tombak Pusaka Kyai Upas
dibawanya dari Mataram ke Tulungagung. Disamping pusaka itu ada kelengkapannya
yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok
slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo
lengkap dengan kelirnya.
Menurut
kepercayaan masyarakat lokal, Pusaka dan pengiring ini tak boleh dipisahkan dan
sampai kini masih tersimpan di bekas pensiunan Bupati Pringgokusumo di desa
Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat Tulungagung dianggap sebagai
pusaka daerah.
Semenjak
dari zaman R.M Tumenggung Pringgodiningrat sampai kini, Tombak Pusaka Kyai Upas
dan pusakan pengiringnya Kyai Jinggo Pengasih tetap dipelihara baik– baik,
turun temurun kepada R.M. Djayaningrat (Bupati ke V) lalu kepada R.M
Somodiningrat (Bupati ke VI) kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke
VIII) dan selanjutnya diwariskan kepada adiknya ialah R.M Tumenggung
Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).
Usai
R.M.T Pringgokoesoemo pensiun pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka
pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada
puteranya yang bernama R.M Moenoto Notokoesoemo, Komisaris Polisi di Surabaya.
Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tangan R.P.A Sosrodiningrat
Bupati Tulunngagung yang ke XIII, menantu R.M.T Pringgokoesoemo. Kemudian pada
jaman Jepang diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah
R.A Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.
Baik
kalangan bupati-bupati lama, dari keluarga Pringgokoesoemo ataupun masyarakat
Tulungagung, memliki suatu kepercayaan bahwa pusaka kyai Upas merupakan pusaka
bertuah penolak banjir dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten
Tulungagung. Cerita – cerita mengenai hal ini kesaktian pusaka kyai Upas
diantaranya yakni saat R.M. Moesono masih kanak-kanak dan berkumpul serumah
dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo. Waktu itu pernah diberi keterangan bahwa
sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami banjir besar sampai air masuk
ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada waktu itu pusaka Kyai Upas tidak berada
di Tulungagung melainkan dibawa oleh R. Pringgokoesoemo ketika masih menjabat
Wedono di Pare (Kediri). Masyarakat mempunyai kepercayaan bilamana pusaka Kyai
Upas dibawa kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang. Pendapat itu ternyata
benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono Pare diangkat oleh
Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka Kyai Upas ikut
diboyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.
Pada
tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa, ketika
itu Pusaka Kyai Upas pada waktu itu dijaga tidak berada di Tulungagung lantaran
dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara hingga masuk
ke kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas
menjadi aman. Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat banjirnya
Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak berada di tempatnya. Dengan
segera beliau pergi ke Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka
itu ditaruhnya didalam mobil namun mengingat penjangnya landean terpaksa sampai
mengorbankan memecah kaca mobil bagian depan dan belakang. Sesudah pusaka
kembali ke Tulungagung, maka banjirpun surut.
Pada
tahun 1946 Bapak Gubernur Soerjo pernah menyerukan kepada rakyat seluruh Jawa
Timur agar semua pusaka-pusaka daerah yang ampuh milik rakyat dikeluarkan dan
dipergunakan untuk membendung kemajuan gerak tentara kolonial Belanda yang
ingin menjajah kembali.
Ketika itu datanglah utusan Bung Tomo yang bernama Nangkulo beserta 2 orang temannya ke Tulungagung menghadap P.A Sosrodhiningrat, Bupati Tulungagung. Mereka mohon diizikan membawa Kyai Upas ke garis depan. Lalu oleh P.A Sosrodhiningrat Pusaka diserahkan lalu dibawa ke Somobito. Dalam kenyataannya, musuh tidak terus maju, tetapi berhenti di desa Curahmalang. Kyai Upas berada di garis depan selama kurang lebih 3 bulan dan diantarkan kembali ke Tulungagung oleh R. Moesono, Bupati Surabaya dengan didampingi oleh R.M. Moenoto Notokoesoemo, Komisaris Polisi Kota Surabaya (pewaris pusaka) dengan naik mobil dinas yang disupiri oleh orang bernama Badjuri (juga sekarang telah pensiun dan bertempat tinggal di Wonokromo Surabaya). Saat Kyai Upas dibawa ke garis depan didampingi pula oleh 2 buah pusaka berupa tombak berasal dari Pringgopuran desa Kutoanyar namun 2 puasaka ini tidak kembali (hilang).
Pusaka
Kyai Upas telah dipelihara dengan secara tradisional oleh keturunan Bupati
Ngrowo. Tugas pemeliharaan ini termasuk suatu kewajiban. Adapun yang menerima
penyerahan tugas paling akhir berdasarkan keputusan bersama dari keluarga
Bupati Pringgokoesoemo adalah R.M Moenoto Notokoesoemo. Tugas ini juga
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Pada saat P.A Sosrodiningrat masih menjabat
Bupati Tulungagung, upacara siraman pada tiap tahunnya dilaksanakan dengan
sangat teliti menurut tradisinya.
https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A ( KI COKRO ST )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar