Sambil berjalan, si bapak yang namanya tak saya temukan di catatan, bercerita tentang tanah di kawasan Air Panas Kawah Merah Gunung Pancar yang sudah banyak dibeli oleh orang kota. Sebagian dibeli oleh seorang penyanyi balada wanita yang telah saya sebutkan pada tulisan sebelumnya, dan sebagian lagi oleh kawan-kawan yang dibawanya ke tempat ini.
Tanah desa,
apalagi di pegunungan seperti ini, memang selalu menggiurkan orang kota sebagai
investasi jangka panjang menguntungkan, dan tempat mengasingkan diri dari
kebisingan, polusi, dan kemacetan kota.
Setelah
berjalan kaki selama beberapa menit saja, akhirnya kami melompat turun dan
menjejak jalanan lebar yang bisa dilalui kendaraan roda empat. Jalan itu
merupakan akses ke Giri Tirta, villa dan pemandian air panas untuk kelas
menengah atas di area Gunung Pancar ini.
Mendekat
lebih dekat ke gerombalan anak-anak perempuan itu, ternyata mereka tengah
melihat smart-phone yang memutar video artis kegemaran mereka. Rubungan itu
disengaja agar layar smart-phone lebih gelap dan mereka bisa melihat tayangan
lebih jelas. Demikian asiknya, tak mereka hirau pertanyaan saya tentang apa
yang tengah mereka tonton itu.
Di bawah
gerombolan anak-anak kecil itu terdapat sebuah gazebo dengan kolam rendam di
depannya. Tak ada air panas di sana. Mungkin hanya diisi ketika ada tamu yang
menyewa cottage di dekatnya.
Kondisi gazebo terlihat agak kurang terawat dan
terlihat sudah lama tak digunakan. Jauh di belakang anak-anak itu juga terlihat
atap beberapa buah cottage yang berada di dalam kompleks Giri Tirta. Kompleks
ini tampaknya menempati area lahan yang sangat luas.
Penginapan di Gunung Pancar |
Sebuah
cottage lagi kami lewati dalam perjalanan kaki menuju Kawah Hitam Gunung
Pancar. Pondok ini terlihat sudah mulai menua dan memerlukan perawatan. Si
bapak menuturkan bahwa beberapa waktu belakangan ini memang terlihat penurunan
tingkat hunian di resort ini. Tidak seramai ketika baru beberapa bulan dibuka.
Hanya beberapa cottage yang masih sering disewa di dekat bagian utama kompleks.
Tak mudah
memang untuk mengelola tempat seperti ini, apalagi jika pemiliknya tidak punya
waktu cukup untuk mengawasinya. Pengawasan kendur akan berdampak pada penurunan
perawatan fasilitas dan mutu pelayanan, yang lambat laun berpengaruh pada
kepuasan dan kedatangan pelanggan. Belum lagi jika pelaporan tamu menginap bisa
digelapkan oleh karyawannya.
Ada lagi
sebuah pendopo yang di bawahnya terdapat beberapa buah kamar rendam pribadi,
yang meskipun dirancang dengan baik dan romantis, namun terlihat sudah lama
terlantar dan tidak digunakan lagi. Sayang sekali.
Lokasinya
yang tak begitu jauh dari Sentul City mestinya bisa memasok tamu menengah ke
atas yang cukup untuk menghidupi resort ini. Apalagi ada sumber air panas, dan
panorama pegunungan menghijau yang elok.
Nama Kawah
Hitam Gunung Pancar rupanya mengacu pada jala-jala hitam yang menutup lubang
kawah yang sama sekali tidak terlihat airnya, seperti terlihat pada foto di
awal tulisan. Lubang kawah yang bisa dilihat dari sela-sela jala memang gelap,
hitam.
Kawah Hitam
Gunung Pancar ini sepertinya memasok air panas yang berada di kompleks Giri
Tirta. Jika melihat kedekatannya dengan Kawah Merah, Air Panas Kawah Hitam juga
mengandung belerang, meskipun saya tidak mencium bau belerang menyengat di
sekitar kawah.
Lubang Kawah
Hitam Gunung Pancar satu lagi yang berada di bawah gerumbul pohon bambu, dengan
ukuran lubang yang tampak jauh lebih lebar. Setidaknya jala penutupnya terlihat
jauh lebih besar dibandingkan lubang yang pertama.
Pepohonan yang Asri Sepanjang Jalan Gunung Pancar |
Lubang di
bawah jala juga terlihat gelap hitam, dan tak pula tercium bau belerang. Selain
untuk menutup lindungi kawah dari daun-daun kering yang berguguran, jala-jala
itu tampaknya juga dimaksudkan sebagai pengaman.
Tak ada yang
bisa dilihat lagi, kami pun berjalan kaki kembali menuju ke Kawah Merah Gunung
Pancar, namun menggunakan jalur berbeda. Jalur jalan desa yang sedikit memutar.
Sembari
berjalan si bapak bertanya maksud kedatangan saya. Rupanya ia berpikir bahwa
saya ingin membeli tanah di sana. Meskipun saya katakan tidak, namun ia tetap
menawarkan jasanya jika suatu ketika saya berminat membeli tanah di desa ini,
sembari memberi nasihat agar saya tidak salah memilih orang, lantaran sudah
banyak orang kota yang tertipu. Uangnya raib, tanah tak dapat. Begitulah,
rupanya memang tidak ada investasi menguntungkan tanpa resiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar