Umbul Nogo di Wonogiri |
Tabir.com. Pada zaman dahulu,
dikerajaan MATARAM hiduplah seorang begawan yang bernama Begawan SIDIK WACANA.
Begawan Sidik Wacana memiliki seorang putra yang bernama JOKO LELONO atau MURCO
LELONO.
Pada suatu ketika Joko Lelono yang
sudah beranjak dewasa itu dipanggil menghadap ayahnya, Begawan Sidik Wacana.
"Anakku, sekarang kau sudah
dewasa, sudah waktunya bagi kamu untuk mencari pendamping hidupmu. Karena ayah
sudah tua dan ayah berharap sesegera mungkin kau mendapat istri agar ayah dapat
segera pula menimang cucu.
" Begitu Begawan Sidik Wacono memberi nasehat
pada anak tunggalnya.
Dengan hormat Joko Lelono menjawab
pertanyaan ayahnya yang sangat dicintainya itu.
"Ayahanda tercinta, mungkin
memang sudah waktunya bagiku untuk segera mencari pendamping, namun sampai saat
ini saya belum dpat menemukan seorang wanita yang saya dambakan
"Wanita seperti apa yang kau inginkan anakku?". Begawan Sidik Wacono bertanya dengan penuh kasih sayang kepada anaknya itu.
"Saya menginginkan wanita yang
cantik, patuh dan taat pada suami serta setia, seperti ibunda." jawab Joko
Lelono.
Begawan Sidik Wacono ternyata tidak
dapat menerima apa yang dikatakan anaknya. Ia mengira bahwa anaknya
menginginkan ibunya untuk diperistri. Rupanya telah terjadi kesalah pahaman.
"Hee!! Joko Lelono, ternyata kamu
itu berperilaku seperti orang buta! Kamu itu tidak dapat melihat bahwa dia
adalah ibumu! Kamu lancang telah berani akan memperistri Ibumu sendiri!!!"
Begawan Sidik Wacono marah.
"Tapi ayah... Aaakkhhh..."
Joko Lelono menjerit. Semuanya terlambat, karena ucapan begawan Sidik Wacana
itu terkenal sakti mandraguna, apa yang diucapkan selalu menjadi kenyataan. Dan
saat itu pula Joko Lelono menjadi buta. Ia tidak bisa melihat.
"Anakku, jika kamu ingin
penglihatanmu pulih seperti sedia kala, hendaklah kamu mau menjalani hidup yang
susah dan penuh cobaan serta rintangan. Pergilah kamu ke padepokan Dlepih
Kahyangan, disana kamu akan bertemu dengan seorang pertapa bernama SIDIK WASESO.
Dan jika kamu memang mau menjalaninya, maka aku juga tidak akan membiarkanmu
pergi sendiri. Kamu akan ditemani oleh dua abdi yang sangat mengasihimu,
bijaksana dan juga cukup sakti, mereka bernama Ki Jebres dan Ki Merkak."
ujar Begawan
"Baiklah ayahandaku tercinta, aku
akan berangkat saat ini juga. Mohon doa restu dari ayahanda dan Ibunda."
pamit Joko Lelono.
Joko Lelono pergi ke padepokan Dlepih
Kahyangan bersama Ki Merkak dan Ki Jebres. Ia menggunakan gajah sebagai
kendaraannya. Gajah itu adalah binatang kesayangan Joko Lelono, selain itu ia
juga membawa sebuah payung.
Singkat cerita sesampainya di Padepokan
Dlepih, Joko Lelono dan kedua abdinya segera menghadap kepada Begawan Sidik
Waseso. Joko Lelono menceritakan kejadian yang menimpa dirinya dari awal sampai
akhir.
Dengan rasa yang tulus ikhlas tanpa
pamrih Begawan Sidik Waseso mengobati Joko Lelono dan seketika itu juga
penglihatannya kembali seperti semula, ia dapat melihat kembali.
"Bapa Guru, terima kasih telah
menyembuhkan saya, saya tidak tahu bagaimana saya harus membalas budi baik Bapa
Guru." ujar Joko Lelono.
"Sama-sama Pangeran, sesama manusia
tidak ada ruginya jika kita saling tolong menolong." jawab Begawan Sidik
Waseso dengan bijak.
Tidak terasa matahari telar
tergelincir ke barat, pertanda hari mulai memasuki malam. Batara Surya mulai
berjalan keperaduannya setelah seharian menyinari bumi, cahaya kemerah-merahan
menghiasi sore itu dan akhirnya hilang dengan digantikan sang malam.
https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A
"Bapa Guru, sekali lagi saya
mengucapkan terima kasih telah menyembuhkan saya. Dan karena hari telah petang,
saya harus segera melanjutkan perjalanan." pamit Joko Lelono kepada
Begawan Sidik Waseso.
"Pangeran, hari telah petang,
alangkah baiknya jika Pangeran tetap tinggal dulu disini. Menginap barang
semalam, saya merasa Pangeran akan mendapat keberuntungan jika mau menerima
saran saya ini." ujar Begawan Sidik Waseso.
Joko Lelono menjawab dengan tegas
"Tidak Bapa Guru, saya tetap akan melanjutkan perjalanan, karena itu sudah
merupakan tekad bulat hati saya."
"Baiklah Pangeran, jika itu
memang yang Pangeran inginkan, saya tidak dapat melarang. Saya hanya dapat
memberikan doa restu, semoga Pangeran dapat mewujudkan keinginan Pangeran
dengan selamat. Padahal, menurut saya sebaiknya Pangeran tetap tinggal disini
dulu, karena dengan itulah Pangeran dapat memperoleh keberuntungan. Tapi jika
itu memang keinginan Pangeran, saya tidak dapat berbuat apapun." ujar
Begawan Sidik Waseso.
"Ya Bapa Guru, apapun yang
terjadi saya siap menjalani dan menerimanya, karena saya tidak bisa memenuhi
permintaan Bapa Guru." jawab Pangeran Joko Lelono.
Akhirnya berangkatlah Joko Lelono
bersama dua abdi terkasihnya Ki Merkak dan Ki Jebres melanjutkan perjalanan
mengendarai gajah dan memakai payung.
Singkat cerita, sampailah Joko Lelono
dan dua abdinya disebuah tempat. Joko Lelono berkata pada dua abdinya terkasih.
"Paman, saya tidak akan kembali
lagi ke mataram. Saya akan terus mengembara untuk memenuhi permintaan ayahanda,
saya akan mencari seorang wanita yang akan mendampingi saya, yang mana wanita
itu harus cantik dalam segala hal."
"Jika itu keinginan Pangeran,
kami menurut saja." ujar abdinya. Karena hari telah larut malam, mereka
menapaki perjalanan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan langit yang indah
hingga sampailah mereka disebuah tempat yang berbentuk seperti gunung kecil
(lebih tinggi dari daerah sekitar).
Berujarlah Joko Lelono kepada dua
abdinya "Paman berdua, jika kelak ada kemajuan jaman, tempat ini kuberi
nama GUNUNGAN. Hendaklah paman berdua menjadi saksi.
Malam itu ternyata Ki Merkak dan Ki
Jebres tertidur. Joko Lelono segera melanjutkan perjalanan mengendarai Gajah
kesayangannya. Setelah terbangun Ki Merkak dan Ki Jebres segera menyusul Joko
Lelono.
Melihat Joko Lelono telah turun dari
geger gajah (punggung gajah) kedua abdinya segera bertanya "Pangeran, mengapa
pangeran turun?"
Joko Lelono pun menjawab, "Paman,
disini aku merasa bingung dan capek. Sampai aku tak dapat mengetahui
arah.". "Paman berdua, sebagai pengingat-ingat tempat ini kuberi nama
NGGEGER. Paman berdualah saksinya." ujar Joko Lelono.
Setelah beberapa saat kemudian, Joko
Lelono teringat pada payungnya. "Paman dimana payungnya?" tanya Joko
Lelono.
"Maaf Pangeran, kami lupa...
payung Pangeran masih tertinggal ditempat kita beristirahat tadi." jawab
kedua abdinya.
Tanpa diminta kedua abdinya itu
kembali mengambil payung. Namun alangkah kagetnya mereka, melihat payung itu
berubah menjadi batu.
Lalu mereka berujar, "Jika kelak
ada kemajuan jaman tempat ini kuberi nama WATU PAYUNG."
Sementara menunggu dua abdinya, Joko
Lelono mengamai keadaan di sekitar tempat itu. Ketika menoleh kearah utara Joko
Lelono terkejut karena melihat cahaya yang sangat terang sebesar lidi
(dalam bahasa jawa sasodo lanang). Tempat itu sebenarnya adalah kerajaan para
roh halus (lelembut) yang di pimpin oleh seorang Ratu yang bernama Dyah Ayu
Putri Serang.
Joko Lelono kemudian menuju tempat
asal cahaya itu. Dia bertemu dengan Dyah Ayu Putri Serang dan saling jatuh
cinta. Karena memang Ratu dari kerajaan roh halus itu sangat cantik jelita.
Sesampainya dari mengambil payung, dua
abdi itu kaget mengetahui Joko Lelono sudah tidak ditempat semula. Mereka yang
memang memiliki kelebihan itu segera menyusul kearah utara. Mereka mendapati
Gajah milik Joko Lelono ada dibawah sebuah pohon besar. Seketika itu pula
mereka mencari keberadaan Joko Lelono. Akhirnya mereka menemukan Joko Lelono
berada.
"Pangeran, pangeran telah
terpesona dengan ratu para roh halus itu. Pangeran telah masuk kedalam
istana." ujar Ki Jebres. "Jika kelak ada kemajuan jaman tempat ini
kuberi nama TOMPAK, karena tempat keberadaan kerajaan para roh halus ini
bentuknya gunung yang tidak berpuncak (gunung tompak dalam bahasa jawa
diartikan gunung kang ora ono lancipe, katon papak)
Pangeran Joko Lelono ternyata sudah
tidak bisa keluar dari istana para roh halus itu. Ia telah terkunci sebuah
pintu yang mengapit.
"Paman berdua, abdiku yang sangat
kukasihi, saya sudah tidak dapat keluar dari sini. Sudah menjadi janjiku untuk
hidup bersama Dyah Ayu Putri Serang. Dan Paman, kutitipkan gajahku yang ada
dibawah sana, terserah paman berdua bagaimana mengurusnya. Oh Paman, aku sudah
tidak bisa keluar." rintih Joko Lelono dari dalam.
"Ya Pangeran, akan kami pelihara
gajah itu." jawab dua abdinya yang setia itu, dan sebagai pengingat-ingat
pintu batu ini kuberi nama LAWANG GAPIT." ujar abdinya itu.
"Paman menolehlah keutara, disana
ada sepasang istri yang menetap disana, yaitu Ki Makarang. Mintalah belas
kasihan mereka." ujar Joko Lelono.
Seketika itu juga dua abdi yang sangat
setia itu menuju ke rumah Ki Makarang. Sesampainya disana mereka segera
menghadap ki Makarang yang ternyata sudah tahu semuanya.
"Kyai berdua, saya tidak punya
apa-apa, saya hanya memiliki ini, sebuah kelapa muda hijau dan ini tape dari
ketan." ujar ki Makarang sembari menyerahkan pada Ki Merkak dan Ki Jebres
"Terima kasih Ki" jawab Ki
Merkak dan Ki Jebres.
"Sekarang kembalilah kalian
berdua ketempat dimana gajah Joko Lelono berada, gajah itu perang melawan naga
milik Dyah Ayu Putri Serang." ujar Ki Makarang.
Saat itu juga, Ki Merkak dan Ki Jebres
segera menuju pohon besar tempat gajah itu diikat. Sesampainya disana ternyata
benar apa yang dikatakan Ki Makarang. Gajah dan Naga itu telah berperang dan
diantara mereka tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua hewan itu
tubuhnya hancur terpisah pisah. Menangislah kedua abdinya itu mengetahui
gajah kesayangan Joko Lelono mati. Mereka lalu memendam kelapa muda pemberian
Ki Makarang dengan dedaunan. Mereka lalu mencari bagian-bagian tubuh gajah dan
naga itu.
Ternyata didekat tempat itu kepala
ular naga dan kepala gajah berada saling berhadapan
"Besok jika ada kemajuan jaman,
tempat ini kuberi nama NOGO." ujar Ki Jebres
Mereka lalu kembali mencari bagian
lainnya. Mereka berjalan kearah selatan, disebelah selatan mereka menemukan
tubuh ular naga yang terpotong-potong dan terlihat pusarnya (dalam bahasa jawa
pusar = udel) dan dari pusar itu memancarlah mata air yang jernih
Ki Merkak berujar, "Kelak tempat
ini akan menjadi sumber penghidupan anak cucu didaerah ini, dan ku beri nama
UMBUL NGUDAL."
Saat menoleh keutara terkejutlah
mereka, disana ada tubuh gajah yang telah berubah menjadi sebuah gunung. Lalu
mereka berdua menamai gunung itu GUNUNG GAJAH MUNGKUR.
Add Umbul Nogo di Wonogiri |
Karena merasa lelah, Ki Merkak dan Ki
Jebres teringat pada kelapa muda pemberian Ki Makarang. Namun mereka lupa
disebelah mana mereka menaruhnya. Mereka lalu mencari menggunakan bambu kecil.
Setelah mencari beberapa lama, ternyata kelapa muda belum juga ditemukan, namun
tiba-tiba bambu kecil itu menancap pada kelapa muda yang dicari-cari,
ketika di cabut ternyata memancar sebauah mata air yang sangat besar.
"Kelak jika ada kemajuan jaman
tempat ini kuberi nama UMBUL NOGO." ujar Ki Jebres.
Ternyata, karena begitu besarnya air
yang memancar menyebabkan daerah disekitarnya, rumah Ki Makarang yang berada
disebelah utara ikut terendam. Agar tidak semakin parah, Ki Merkak dan Ki
Jebres segera menyumbat dengan:
1. Kambing (wedhus kendit = kambing yang
tubuhnya dikelilingi warna putih tanpa putus)
2. Ijuk (duk)
3. Dandang
Seketika itu juga pancaran air
mengecil. Ki Makarang berterima kasih kepada Ki Merkak dan Ki Jebres.
"Kyai, terima kasih telah
menyelamatkan daerah saya." ucap Ki Makarang.
"Ya KI Makarang, kami berdua juga
mengucapkan terima kasih karena telah memberi kami kelapa muda dan tapai
ketan." jawab Ki Jebres. "Dan Ki Makarang, jadilah saksi bahwa daerah
yang terendam air ini, saya namakan KARANGLOR. Dan pesan saya Ki Makarang,
sumber air akan menjadi sumber kehidupan bagi anak cucu. Dan kelak jika anak
cucu kita menanam padi disekitar sini hendaklah saat panen harus menyediakan
kelapa muda, tebu dan badeg (badeg = tapai ketan), kami akan membantu anak cucu
untuk memperoleh kemakmuran." ujar Ki Jebres panjang lebar.
"Baiklah, akan kuingat pesan
Kyai." jawab Ki Makarang.
"Ya Ki. Ingatlah terus pesan kami
maka kami akan membantu anak cucu kami dikaranglor ini secara sesingidan
(secara gaib)." ujar Ki Jebres.
Setelah itu Ki Jebres dan Ki Merkak
segera melanjutkan perjalanan setelah berpamitan kepada Ki Makarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar