![]() |
Surya Majapahit |
Sebagai sebuah kerajaan besar pada abad ke-14 tentu saja
Majapahit memiliki kelengkapan dan aparat lengkap dalam menjalankan roda
pemerintahan. Untuk menjaga kedaulatan negara dari serangan musuh-musuh,
Majapahit memiliki kekuatan militer yang terdiri dari Angkatan Darat (AD) dan
Angkatan Laut (AL). Kemudian sistem ekonomi Majapahit ditopang dengan
perdagangan sebab Majapahit adalah kerajaan dengan corak maritim.
Dalam kaitannya dengan keamanan dan ketertiban, Kerajaan
Majapahit juga memiliki aturan atau undang-undang yang digunakan untuk
menegakkan keadilan, menghukum para pelaku kejahatan dan memulihkan ketertiban
umum. Kerajaan Majapahit juga sudah memiliki kitab undang-undang yang tidak
kalah hebat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam kaitannya
dengan persoalan perdata, Kerajaan Majapahit juga sudah mengatur hukum perdata
bagi warga negaranya.
Slamet Muljana dalam bukunya Tafsir Nagara Kretagama
terbitan LKIS tahun 1979 menjelaskan kitab undang-undang yang dijadikan acuan
pada zaman Kerajaan Majapahit disebut Kitab Kutara Manawa. Kitab
Kutara Manawa sendiri disadur dari kitab-kitab hukum yang berasal dari tanah
India semisal Manawadharmasastra.
Kitab undang-undang Majapahit yang disebut Kutara Manawa disebut
dalam Kitab Negarakretagama, sebuah kitab yang membahas tuntas
Kerajaan Majapahit. Kitab Kutara Manawa terdiri dari 275 pasal. Dalam pasal 23
dan 65 kitab undang-undang itu disebut Kutara Manawa.
"Kitab undang-undang Majapahit disebut Kutara Manawa atau
Agama," tulis Slamet dalam bukunya.
Pakar sejarah alumnus Universitas Louvain, Belgia tahun 1954
melanjutkan, Kitab Kutara Manawa adalah sebuah kitab yang berisikan
aturan-aturan mengenai hukum pidanadan juga perdata. Namun antara pidana dan
perdata belum ada pemisahan jelas, satu sama lain masih tercampur.
Secara umum beberapa persoalan pelanggaran pidana yang diatur
adalah soal pencurian, pembunuhan, perbuatan melukai orang lain dan sebagainya.
Bab-bab semisal jual beli, perkawinan, warisan, perceraian, gadai, utang
piutang yang semuanya masuk dalam ranah perdata juga sudah dibahas dalam kitab
Kutara Manawa. Sedangkan hukuman yang diterapkan berupa hukuman mati, atau
hukuman berupa denda yang dibayar dengan uang.
![]() |
Candi Peninggalan Majapahit |
"Hukuman mati ini disebut dengan istilah Pati,"
sambung Slamet.
Hukuman mati juga dijatuhkan kepada seorang pencuri yang
tertangkap dalam melakukan aksi jahatnya. Sedangkan anak-isterinya serta
hartanya diambil alih oleh raja. Jika pencuri itu ingin mengajukan permohonan
hidup maka ia harus menebus pembebasannya dengan membayar denda kepada raja dan
membayar ganti rugi dua kali lipat kepada orang yang hartanya ia curi.
Susunan Pengadilan
Untuk menjatuhkan vonis bersalah kepada seseorang, Kerajaan
Majapahit juga memiliki hakim yang disebut dharmmadyaksa dan
terdiri atas dua orang. Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja
yang disebut Sang Amawabhumi, yang memiliki arti orang memiliki atau menguasai
negara.
Orang yang bisa duduk sebagai hakim adalah mereka yang memiliki
moralitas dan etika mumpuni, sebab tugas hakim adalah mengadili seseorang.
Karena itu yang duduk dalam posisi hakim adalah para pemuka agama. Sama seperti
pengadilan modern, seorang hakim dalam menjalankan pekerjaanya dibantu oleh
panitera. Pada masa Majapahit panitera disebut dengan Upapatti.
Dalam memutuskan sebuah perkara, para hakim di Kerajaan
Majapahit memegang teguh prinsip keadilan (justice), sehingga kepastian
hukum (certanity) bisa terwujud dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyak
orang juga bisa diwujudkan.
Setidaknya ada dua kasus perselisihan yang terjadi antara para
pejabat dengan rakyat biasa. Dalam prasasti Bandasar yang tidak diketahui
tanggalnya diuraikan perselisihan milik tanah Manah di desa Manuk antara Mapanji Sarana dan para pejabat
dari daerah Sima Tiga.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Untuk menuntaskan kasus tersebut para hakim memangil pihak
berperkara lengkap dengan keterangan saksi dari kedua belah pihak. Setelah
menelaah kasus dengan seksama dan mendengarkan keterangan saksi, majelis hakim memutuskan
para pembesar Sima Tiga yang diwakiliPanji
Anawung Harsa kalah. Kemudian tanah tersebut diberikan kepada
Mapanji Sarana yang merupakan penduduk desa di Desa Manuk.
Kasus hukum lain yang terjadi antara penduduk desa Walandit
dengan para pejabat dari Desa Himad. Para penduduk desa Walandit mendapat tugas
memelihara dharma kabuyutan (candi leluhur) di desa Walandit
yang merupakan peninggalan Raja Sindok pada pertengahan abad ke-12.
Dalam perkembangannya desa Himad menguasai desa Walandit dan
mengklaim candi beserta tanah di sekitarnya. Perkara tersebut lantas diadukan
kepada raja. Namun perkara tersebut diputuskan diluar pengadilan (non
litigasi). Dalam sengketa tersebut para pejabat Himad dikalahkan, sedangkan
orang-orang walandit tetap menjalankan tugasnya menjaga candi leluhur
peninggalan Raja Sindok.
Baca Juga:
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar