Bangsal Kasultanan Pajang, tahun
1582. Pemuda gagah itu berdiri dengan kepala tegak, menatap dengan segenap
amarah kepada Sultan Hadiwijaya. Empat prajurit kerajaan menarik dan
mencengkeram kedua tangan si pemuda ke belakang punggungnya. Pangeran Pabelan,
pemuda gagah dan tampan itu, tahu kalau hidupnya akan segera berakhir di tangan
junjungannya sendiri, Sultan Pajang.Tapi ia tal menyesal.
Sebab apa yang dilakukan dan
kemudian dianggap terlarang, baginya, bukan suatu kesalahan. Mencintai seorang
putri raja, Sekar Kedaton, bisakah dianggap sebuah kesalahan? Bukankah ia tak
pernah memaksa sang putri untuk mencintainya? Bukankah sang putri juga
menyambut dengan suka cita dan rasa bahagia benang asmara yang ia getarkan?
Mengapa harus dihukum, digelandang, diseret - seret seperti begal.
Senja turun di Pajang, Pabelan tahu
riwayatnya akan segera tamat. Ia tahu, seribu macam pembelaan tak akan
menghentikan amarah sang raja. Karena itu, sebelum aneka senjata, keris, pedang
dan tombak menghujam dan merejam dadanya, Pabelan tak ingin menunjukan
kegentarannya. lalau pun ia harus mati, ia tak ingin mati sebagai pecundang. Ia
ingin mati dengan segenap perlawanan, meski hanya kata-kata. Meski ia tahu,
semua itu akan sia-sia belaka.
Pabelan, putra Tumenggung Mayang,
tak menggeserkan menggeserkan tatapannya ke raja, bahkan berkata lantang.
"Kini tertawalah sepuas-puasnya. Aku, Pabelan, mungkin akan segera mati.
Tapi ketahuilah, aku akan selalu hidup, hingga kelak, kau pun akan tersungkur.
Ingatlah, apa yang kau lakukan hari ini adalah karmamu di masa mendatang!"
teriaknya. Sultan Pajang tak bergeming. Tatapannya lurus ke Pabelan. Ia seperti
membuat keponakan Sutawijaya terus meracau.
"Hujamkan kerismu ke jantungku
Kanjeng Sultan, lalu tepuklah dadamu. Tapi jangan pernah sekalipun kau ciderai
Sekar Kedaton. Sebab Perempuan Agung itu tak salah apa-apa. sebagai raja agung
Kanjeng Sultan mestinya tahu, tak ada yang salah dengan asmara. Apa karena aku
hanyalah seorang putra tumenggung, sehingga Kanjeng sultan tak merelakan
putrimu untukku?" Bangsal seperti bergetar.
Tapi Hadiwijaya segera mengakhiri
fragmen di bangsal Pajang itu. Keris di tangannya secepat kilat menghujam ke
dada Pabelan. Detik itu pabelan yang masih terhitung keponakan Sutawijaya,
penguasa mataram, itu tewas. Tak cukup dengan menghukum mati Pabelan,
Hadiwijaya juga membuang Tumenggung Mayang, ayah Pabelan, ke Semarang.
Itulah sepenggal tragedi asmara yang
mewarnai kesultanan Pajang. Agaknya, setiap zaman memang menyipan tragedi
cintanya sendiri. Meski tak menggema seperti kisah cinta Ki Ageng Mangir dan
Pembayun pada zaman Panembahan Senopati memerintah Mataram, namun kisah cinta
antara Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton pada masa kesuktanan Pajang ini,
tetap hidup.
Sejarah memang tak mencatat riwayat
pangeran ini secara lengkap. Sejarah hanya mengingat pangeran tampan yang konon
playboy ini sebagai putra Mayang, seorang Tumenggung di wilayah kesultanan
Pajang. Tumenggung Mayang sendiri adalah ipar dari Sutawijaya, penguasa perdikan
Mataram.
Konon tragedi cinta inilah yang
kelak kelak memicu kemarahan Sutawijaya -- karena Pabelan dihukum mati, dan
Tumenggung Mayang dibuang ke Semarang -- untuk memerangi Mataram. Tapi siapa
sebenarnya Pabelan?
Konon, ketampanan Pangeran Pabelan
memang hampir tak tertandingi oleh para pemuda dan pangeran pada zamannya.
Ditambah perawakan yang tinggi besar, Pabelan menjadi magnet bagi
perempuan-perempuan Pajang. Sayangnya, Pabelan sangat menyadari kelebihannya
ini. Dengan ketampanan dan darah ningratnya,
Pabelan mempunyai kegemaran memikat
para perempuan, baik para gadis dan perawan maupun para perempuan yang sudah
bersuami. Tak hanya perempuan biasa, tapi juga perempuan-perempuan keraton. Dan
salah satunya adalah Sekar Kedaton, putri dalem Sultan Hadiwijaya sendiri.
Di depan ayahandanya, Tumenggung
Mayang, Pabelan memang pernah bersumpah tak akan mengakhiri petualangannya.
Sebelum bisa menaklukan hati Sekar Kedaton. Mendengar sumpah ini, Tumenggung
Mayang sempat murka. Ia bahkan sempat mengusir Pabelan dan tak mengakui sebagai
anak.
Lokasi Makam Raden Pabelan |
"Belajarlah melihat dirimu sendiri,
Pabelan. Kita ini siapa jika dibandingkan dengan Kanjeng Sultan?". Kata
Tumenggung Mayang menasehati putranya. "Ini soal perasaan, Romo, bukan
pangkat atau derajat. Tak bolehkah aku menyandingi Sekar Kedaton, kalau sang
putri sendiri juga menghendaki?" sanggahnya.
Pabelan tak salah. Dari beberapa
kali pertemuan, Sekar Kedaton memang seperti menyambut getar asmara Pabelan.
Suatu kali, dengan sembunyi-sembunyi, Pabelan bahkan pernah mengedipkan mata ke
arah sang putri, hingga perempuan agung keraton itu merona wajahnya. Tumenggung
pun tahu itu. Tapi mencintai Sekar Kedaton apa bukan berarti menggoreskan
malapetaka? Dan inilah rupanya awal malapetaka itu. Begitu berhasil masuk
keputren, Pabelan tak keluar-keluar lagi.
Pabelan menyusup ke kamar pribadi
sang putri sampai berhari-hari. Dan petaka itu datang ketika para pengawal
kerajaan menemukannya setelah genap sepekan sang pangeran mereguk asmara
bersama sang putri.
Sultan Hadiwijaya yang mendengar kabar ini
marah besar. Pabelan diseret ke bangsal keraton. Tumenggung Mayang tak
ketinggalan. Sebab, si ayah diduga ikut membantu menyusupkan Pabelan ke
keputren. Saat menghadap,
Tumenggung Mayang pasrah menerima
hukuman atas perbuatan anaknya. Sultan Pajang memrintahkan agar Raden Pabelan
dihukum mati dengan dirajam berbagai macam bentuk senjata yang terbuat dari
besi. Selanjutnya, mayatnya dibuang di Sungai Laweyan, (sungai Braja).
Pembuangan mayat Pabelan inilah kelak yang menjadi awal berdirinya kota Solo.
Setelah terbawa arus bengawan, mayat Pabelan menyangkut di pepohonan, kemudian
ditwmukan Kyai Sala. Mayat kemudian didorong ke tengah sungai, agar hanyut ke
hilir. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.
Namun, pagi hari berikutnya, Kyai
Gede Sala heran karena kembali menemukan mayat Pabelan tetap di tempat semula.
Sekali lagi mayat dihanyutkan ke sungai. Namun lagi-lagi, pagi berikutnaya,
peristiwa sebelumnya terulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula. Kyai
Gede Sala akhirnya maneges, minta petunjuk Tuhan atas peristiwa itu. Setelah
tiga hari tiga malam bertapa,
Kyai Gede Sala mendapat ilham atau
petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang
pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang mennjadi mayat itu dan
agar menguburkan jasadnya di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan asal
dan namanya, si pemuda menghilang.
Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti
perintah pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena
namanya tidak diketahui, maka mayat itu disebut Kyai Bathang (mayat). Sedangkan
tempat makamnya disebut Bathangan. Makam itu sekarang berada di kawasan Beteng
Plaza (sekitar Gladag, Solo).
Kembali ke Pajang, rupanya
penghukuman atas Tumenggung Mayang dan putranya, Pangeran Pabelan, semakin
menambah kekecewaan Sutawijaya, Panembahan Senopati, di Mataram. Panembahan
mulai tak mendatangi pasewakan , pertemuan, pertemuan di Pajang.
Sepaninggal ayahnya, Ki Ageng Pamenahan,
Sutawijaya memang diberi hak untuk tidak menghadap Raja Pajang, Hadiwijaya
selam setahun penuh. Namun setelah setahun berlalu, Sutawijaya tetap tak pernah
lagi menghadap.
Pembangkangan Sutawijaya ini
menyulut kemarahan Sultan Pajang. Sultan bahkan berangkat sendiri memimpin
pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Namun laskar Pajang dapat
dipukul mundur meskipun jumlahnya lebih banyak. Hadiwijaya menarik mundur
pasukannya. Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya jatuh dari punggung gajah, dan
meninggal dunia.
Tumengungan Mayang kini dikenal
sebagai kampung Mayang. Lokasinya berada sekitar 3 kilometer arah barat daya
kampung Pajang di Kecamatan Laweyan, Solo. Sejak tragedi asmara berdarah antara
Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton tahun 1582, kedua kampung ini seperti
menyisakan dendam yang mengakar.
Tak jarang warga kedua kampung ini
tawuran hanya karena hal-hal sepele. Berbilang masa kemudian, kedua kampung
bahkan pernah membuat kesepakatan tak tertulis, bahwa keturunan Pajang dan
Mayang tidak akan membentuk keluarga. Artinya, tak akan pernah terjadi
pernikahan antar anak cucu kedua kampung. Tapi ini terjadi puluhan bahkan
ratusan tahun lalu.
Kisah kekerasan, anarkhisme, dan
peperangan antar warga di dua kampung tersebut kini tinggla sejarah. Sebab
setelah Kasultanan Pajang runtuh dan Mataram membentuk Kasultanan, perseteruan
dan perang dingin kedua kampung semacam itu kini sudah mereda. jika ada
persaingan, bukan dalam bentuk persaingan yang berbau anarkhisme atau
kekerasan.
Kedua kampung sampai sekarang pun
tetap sebagai rival, tapi rival atau persaingan yang positif ke arah kemajuan.
"Saya memang pernah mendengar cerita soal perang dingin dan tawuran itu
dari kakek. Tapi itu dulu sekali. Kakek saya saja mendengar cerita itu dari
kakeknya lagi. Sekarang tidak ada apa-apa kok. Damai saja..." kata
Waskito, seorang warga kampung pajang.
Lain lagi komentar Harsono, warga Kampung Mayang. "Persaingan itu tetap
ada, tapi pas tujuhbelasan saja. Biasa Mas, lomba antar kampung."
Ya begitulah kisahnya. Sejarah memang selalu mempunyai kisahnya sendiri.
Tragedi cinta Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton ini hanya satu dari sekian
banyak tragedi serupa. Sebut saja Anabaya atau Ki Ageng Mangir dan Pembayun,
Roro Mendut Pranacitra dan seterusnya.
Di masa kerajaan Pajang dulu, tersebutlah nama Raden Pabelan putra Tumenggung
Mayang, salah satu menteri kepercayaan Sultan Pajang Hadiwijaya. Pabelan
mempunyai wajah yang sangat tampan, konon di wilayah Pajang tidak ada yang mampu
mengalahkan indahnya paras mukanya itu. Tetapi, sifat Pabelan tidak seelok
wajahnya. Pabelan seorang playboy. Jari-jari tangan tidak akan cukup untuk
menghitung sudah berapa wanita yang menjadi korban Pabelan. Baik yang masih
perawan, janda atau bahkan yang masih menjadi istri orang.
Tumenggung Mayang tentu saja malu
atas perilaku Pabelan dan selalu gelisah memikirkan kelakukan anak laki-laki
satu-satunya itu. Kelakuan Pabelan mengancam kedudukannya sebagai tumenggung,
karena dia telah mendapatkan peringatan keras dari Sultan Pajang agar
menghentikan tingkah Pabelan yang buruk itu. Satu-satunya jalan, dia harus
membunuh Pabelan, putranya sendiri.
Suatu siang, Tumenggung memanggil
Pabelan untuk menghadapnya, “Pabelan, kalau jadi playboy jangan tanggung-tanggung,
kalau kamu berani pacari putri Sultan, si Sekar Kedaton”.
“Apa mungkin aku bisa masuk ke istana. Penjagaan pasti sangat ketat, apalagi di
istana keputren. Apakah ayah punya ide?” Dalam hati Pabelan sangat girang, dia
tidak menyangka kalau ayahnya menyuruh merebut hati Sekar Kedaton.
“Ada, nanti ayah bantu dengan
mantra-mantra sakti supaya kamu bisa menembus tembok dan prajurit istana. Ini
aku berikan sepasang kembang kenanga untuk kamu berikan kepada Sekar Kedaton”,
begitu kata Tumenggung Mayang kepada anak lelakinya itu.
Pabelan tidak tahu ada rencana busuk
di balik kebaikan ayahnya. Tumenggung Mayang ingin menjebak Pabelan. Bagi
Tumenggung Mayang, Pabelan lebih terhormat mati karena kepergok memacari putri
Sultan dari pada ditangkap dan mati dikeroyok rakyat jelata ketika ketahuan
berada di rumah seorang janda.
Pabelan segera menuju istana.
Di balik tembok istana dia meramal
mantra yang diberikan ayahnya. Ajaib, tembok istana menjadi demikian pendek,
sehingga dengan mudah dia bisa melangkah masuk istana. Di sana dia bertemu
dengan seorang emban keputren, kemudian dia titipkan sepasang kembang kenanga
untuk diberikan kepada Sekar Kedaton.
Begitu melihat ketampanan Pabelan,
Sekar Kedaton jatuh cinta pada pandangan pertama. Demikian pula dengan Pabelan,
sangat terkesima oleh kecantikan putri Sultan, bedanya bagi Pabelan pertemuan
itu merupakan cinta ke sekian pada pandangan pertama.
Mereka pun memadu kasih di taman keputren. Malam hampir tiba, saatnya Pabelan
pamitan pulang. Tapi ada yang ganjil. Mantra yang diberikan ayahnya tidak bisa
dipergunakan lagi untuk keluar istana.
Kadung jatuh cinta! Pabelan dan
Sekar Kedaton merasa situasi seperti itu justru menguntungkan bagi mereka,
bidadari di kahyangan sedang menurunkan hujan cinta kepada mereka berdua. Tujuh
hari tujuh malam, Pabelan dan Sekar Kedaton tidak keluar kamar.
Keadaan itu menggelisahkan para
emban. Tugas emban memang harus melindungi junjungannya. Emban segera
melaporkan peristiwa yang terjadi di keputren itu kepada Sultan. Sudah bisa
diduga, amarah Sultan menggelegak dan dengan langkah-langkah yang panjang
menuju istana keputren. Pintu kamar Sekar Kedaton didobraknya.
Pabelan dan Sekar Kedaton tengah
bergumul di atas peraduan. Sultan kalap, harga dirinya telah diinjak-injak oleh
seorang playboy. Sekar Kedaton lambang kesucian keputren Pajang telah ternoda.
Dengan tangan gemetar, Sultan mencabut keris saktinya.
Pabelan tewas seketika. Keris sakti itu telah menancap di dadanya.
https://www.youtube.com/channel/UCts5Ua5IehgoRev-E6-zh1A (KI COKRO ST)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar