Taman Blambangan |
Tabir.com-Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis
Panji berjudul Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu
popular di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan yang tak
pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni Kerajaan Blambangan.
Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur. Bila kita
melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan Selat Bali, dengan
begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan pesisir. Bila melihat
namanya, Blambangan berasal dari kata bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang
artinya “besar” atau “banyak”. Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan
adalah “kerajaan yang rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang
pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah Damarwulan-Minakjinggo
diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini telah ada dan berdaulat. Namun
demikian, ada beberapa sumber yang memuat nama Blambangan, yakni Serat Kanda
(ditulis abad ke-18), Serat Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja
Blambangan (ditulis 1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah
masa kejayaan Blambangan, yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni
Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber berjenis
sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber primer yang bisa
dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni Pararaton, yang meski tak
menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan nama Arya Wiraraja dan Lamajang
akan membantu kita menyibakkan kabut yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan
Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit.
Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah
awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal Majapahit pada masa
Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka sedikit celah akan terkuak
bagi kita guna menuju pencarian awal mula Blambangan.
Pelacakan ini bisa
dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R. Wijaya) dan kawan-kawan ke
Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna meminta bantuan kepada Arya Wiraraja
dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang yang telah menggulingkan Kertanagara di
Singasari. Menurut Pararaton, Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang
berhasil dijatuhkan, kelak kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya,
satu lagi untuk Arya Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat
di Singasari, yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu
dan keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya
berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya Wiraraja diberi jabatan sebagai
pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Namun,
rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah tidak menjabat lagi, hal ini sesuai
dengan isi Prasasti Penanggungan yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan
bahwa penyebab menghilangnya nama Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi
karena pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap
Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan
diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai wilayah yang dulu
pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit itu mengabulkan janjinya
dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit sebelah timur yang beribukota di
Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan
memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang diberikan pada Arya Wiraraja
adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma (kini Gunung Bromo) hingga tepi
timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah
Lumajang seanteron ipun kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja
Blambangan, Arya Wiraraja memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia
digantikan putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh
karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong hingga 1352.
Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima Chili Kapakisan,
saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem Sri Kapakisan di
Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja
Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis pada Pararaton. Dikisahkan,
pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia Raden Wijaya sekaligus Patih
Amamangkubhumi Majapahit yang pertama, memberontak pada masa pemerintahan
Jayanagara, seperti yang dijelaskan Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung
Sorandaka, menceritakan pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya
yang bernama Pranaraja (sementara Kidung Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah
Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng pertahanannya di
Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan
Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng pertahanan di Gending dan Pejarakan yang
dibangun Nambi, dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi
sekeluarga tewas dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin
penumpasan Nambi adalah Jayanagara sendiri. Dalam peristiwa ini, jelas Nambi
berada di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih hidup saat
peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam
upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu belum dirasakan memuaskan,
karena walau bagaimana pun, semua data di atas tak menyebutkan nama Blambangan.
Untuk itu, kita langkahkan lagi penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian,
yakni masa Perang Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton
Timur” di wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan
Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat sekaligus
kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang bernama Wijayarajasa
(suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara
ring Pamotan. Bhatara Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena
putrinya yang bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara
Parameswara wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre
Wirabhumi.
Bila menghubungkan
berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti Ming, kita bisa melihat
adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat
“Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur” yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa
pada tahun itu Bhre Wirabhumi, penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada
Cina guna mendapatkan pengakuan Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana,
penguasa Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya
yang telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan
adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa “Kerajaan
Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu pada penguasa di
Pamotan, yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul masalah baru: apakah
istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi sama dengan istilah “Istana
Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo
di Cina mengirim utusan ke Jawa guna memberitahukan bahwa dirinyalah yang
menjadi Kaisar Cina. Hubungan Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana
menerima stempel perak berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih,
Wikramawardhana mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti. Rupanya
kiriman stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk
mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki maksud
yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina.
Pengesahan resmi dari
Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur membuat geram
Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre Wirabhumi diakui
oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali mengemban pemerintahan.
Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur
sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana Majapahit lain untuk mendukung
mereka.
Pararaton mencatat,
Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”) antara Wikramawardhana-Bhre
Wirabhumi terjadi pada tahun Saka naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406).
Setelah Wikramawardhana berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi
melarikan diri saat malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar
oleh Bhra Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit
untuk dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian
ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406), bernama
Grisapura.
Perang ini berawal dari
ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari
selir, atas penunjukan Suhita, putri pasangan Kusumawardhani (putri Hayam
Wuruk) dengan Wikramawardhana, menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada
1389 Wikramawardhana, menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan
menjadi raja, lalu setelah 12 tahun memerintah,
Wikramawardhana turun
takhta dan menjadi pendeta. Penunjukan Suhita oleh Wikramawardhana tidak
disetujui Bhre Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir,
merasa lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki
dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta tersebut
karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk, yakni
Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut Nagarakretagama, menikah dengan
Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah dengan Bhre Lasem yakni
Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk sekaligus anak dari Rajadewi
(Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre
Daha menurut Pararaton, ini adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni
Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon, Majapahit.
Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa Daha, tidak
diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359 Saka (1437 M), yang menjadi
penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan
Salas.
Setelah Perang Paregreg,
takhta Majapahit masih dipegang oleh Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian.
Pada 1349 Saka (1427 M) Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan
kepada Suhita. Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan
Kerajaan Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas,
sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua, yakni Nagarakretagama pada
abad ke-14 tidak mencantumkan nama “Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai
Arya Wirajaja; pun Pararaton yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak
menyebutkan nama itu, melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh
Bhre Wirabhumi. Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada
abad-abad selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad
setelah era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang ditulis
sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama tempat
“Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai tempat ziarah
kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus
asa, ada data menarik yang akan membimbing kita menelusuri kabut sejarah
kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah peristiwa yang terjadi pada akhir
abad ke-16, setengah abad setelah masa Paregreg, yakni penyerangan pasukan
Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat itu, Kediri merupakan kerajaan utama
setelah berhasil menyerang Majapahit.
Situs Umpak Songo |
Muljana (1986: 300)
menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban pada 1527; setelah Tuban,
laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri pada tahun itu juga. Raja Kediri,
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara
Wijaya atau Brawijaya dalam serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara
Kediri jatuh ke tangan Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah
mengalahkan Bhre Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam
rangka balas dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana
yang duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga
menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini didukung oleh
Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana pernah berperang
melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda
yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah Daha jatuh ke pasukan Demak,
melarikan diri ke Bali, menurut Muljana, tak dapat dibuktikan oleh data sejarah
yang lebih sahih. Sebaliknya, Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini
nama kecamatan di Kab. Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan
sendiri ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad
ke-14 telah menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit.
Dengan tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa
dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang Belanda
kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai Kerajaan
Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan Hindu di
Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya diserang Demak.
Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan orang-orang Portugis,
yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam di Jawa. Bukti lain bahwa
Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan adalah peristiwa terbunuhnya Sultan
Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546. Hanya saja, belum ada kepastian, sejak
kapan pusat pemerintahan Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih
timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah kepemimpinan
Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya.
Pasuruan ditaklukan pada
1545 dan sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur
Jawa. Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami
kendala karena kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana
sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu
menembus kota Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak,
posisi Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut
oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh aliansi
Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan ajaran Islam.
Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah Muncar.
Pada masa Kesultanan
Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang
merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami
kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada
umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu,
sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda
dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai
bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas
terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di Panarukan, jadi bukan berasal
dari “Istana Timur” di Lumajang peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa
Perang Paregreg. Namun demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk
memutuskan apakah tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal
mula Kerajaan Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di
bawah ini.
Pangeran Tampauna
(Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di
Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas wilayahnya
hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem
Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah
kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya Blambangan dan Bima (tahun 1633)
dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651, muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti
atas Gelgel. Ketika Dewa Agung Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel
merebut wilayahnya yang terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat
kerajaan ke Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17,
Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah Blambangan ditaklukkan pada
1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna digantikan oleh Raden Mas Kembar
alias Tampauna pada 1637. Ketika itu, ibukota masih di Lumajang. Pada 1639,
raja ini memindahkan keraton ke Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo,
sehingga bergelar Pangeran Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal
Blambangan adalah Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya
Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna
ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara Bali dan Mataram. Perebutan
pengaruh antardua kerajaan itu berakhir setelah kedua penguasa kerajaan itu
wafat, Sultan Agung pada 1646 dan Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah
berusia sepuh, Mas Tampauna bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh putranya
yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan semedhi dan
memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia mendapat petunjuk
untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”. Ia pun harus duduk di
atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan putih tersebut menuju hutan Sudhimara
(Sudhimoro). Tawang Alun lalu mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah
yang selanjutnya dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan
Putih (tahun 1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih,
Blambangan berusaha
melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008: 511) menerangkan bahwa
pada 1659 M atau 1585 Saka, raja Blambangan yang baru dilantik (tidak disebut
namanya), dengan dibantu angkatan perang dari Bali, kembali melakukan
pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I (Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan
Agung dari Mataram, lalu mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan
laskar Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan.
Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para
pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram pimpinan
Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa dirinya menarik
pasukannya kembali. Mendengar itu, Amangkurat memutuskan untuk menghukum sang tumenggung
dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun
memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi Jember, Lumajang, Situbondo.
Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun berwawasan terbuka, karena meski merupakan
penganut Hindu yang taat, raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang.
Yang menjadi fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan
ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat mendirikan ibukota di wilayah Rowo
Bayu (kini termasuk Kec. Songgon, Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati
menetap di Rowo Bayu. Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun
sendiri, yakni Mas Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat,
tawang Alun mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
Petilasan Tawang Alun bertapa di Rowo Bayu
Sepak terjang Tawang
Alun ini banyak tercatat dalam arsip Belanda, ketika masa terakhir
pemerintahannya. Arsip Belanda itu, misalnya, mencatat prosesi pembakaran
jenazah (ngaben) Tawang Alun (meninggal 18 September 1691) yang begitu
spektakuler. Bagaimana tak spektakuler jika dalam upacara ngaben itu sebanyak
271 istri dari 400 istri Tawang Alun ikut membakar diri (sati) ke dalam kobaran
api?
Tempat kremasi jenazah Tawang Alun masih bisa ditemukan hingga sekarang,
posisinya berada satu kilometer dari Balai Desa Macan Putih, luasnya sekitar
setengah hektar dan dikelilingi tembok putih dengan satu pintu pagar yang
lebarnya hanya untuk dilewati satu orang. Bangunan utamanya mirip pendopo
berbentuk segienam, berlantai putih dari keramik.
Pendopo yang dipercayai
sebagai tempat penyimpanan abu Tawang Alun di Desa Macan Putih, Kec. Kabat,
Banyuwangi, Jawa Timur.
Mengenai nama Tawang Alun sebagai wilayah administratif, catatan Bujangga Manik
memerikan sebuah tempat bernama Padang Alun. Padang Alun ini dilewatinya
sehabis menapaki Balungbungan atau Blambangan (setelah sebelumnya menyeberang
dulu dari Bali), menuju wilayah Jawa Barat melalui jalur pantai selatan Jawa.
Toponimi
Padang Alun di sini
tentu mengingatkan kita pada nama Tawang Alun. Dilihat dari segi semantis
(makna kata), kata padang berdekatan dengan kata tawang: padang dalam bahasa
Jawa berarti “cahaya, terbuka”, tawang berarti “terbuka, tidak tertutup
bayang-bayang” (Noorduyn, J dan A. Teeuw, 2009: 512). Dari jabaran ini, kita
bisa menyimpulkan bahwa Padang Alun pada abad ke-15/ke-16 tak lain adalah nama
alternatif dari Tawang Alun. Deskripsi ini memperkuat dugaan bahwa nama Tawang
Alun untuk penguasa wilayah ini diambil dari nama tempat di mana ia memerintah,
atau mungkin saja sebaliknya. Kemungkinan besar, penguasa “Padang Alun” pada
masa Bujangga Manik melewati wilayah ini tak lain adalah Tawang Alun.
Reruntuhan Candi Tawang
Alun di Desa Buncita, Kec. Sedati, Sidoarjo, Jawa Timur, yang tidak terawat.
Masyarakat setempat memercayai bahwa candi ini didirikan oleh Resi Tawang Alun
untuk dipersembahkan kepada salah seorang selirnya, Putri Alun. Kebenaran kisah
tersebut masih harus diselediki, dan apakah berhunungan dengan keberadaan Raja
Tawang Alun dari Blambangan.
“Puputan Bayu” Melawan VOC
Perjuangan rakyat
Blambangan dilanjutkan oleh Mas Rempeg Jagapati. Pada 18 Desember 1771, laskar
Blambangan berhasil membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Tanggal inilah
yang didipakai sebagai Hari Jadi Banyuwangi. Pada 2004, pemerintah Banyuwangi
membangun sebuah monument guna memperingati perang Puputan Bayu tersebut yang
dipimpin oleh Rempeg Jagapati itu.
Jagapati merupakan
keturunan Tawang Alun. Saat itu pusat Kerajaan Blambangan berada di Lateng
(sekarang Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi). Ia melarikan diri karena tidak puas
terhadap VOC yang mengangkat raja Islam yang ternyata korup. Jagapati segera
menobatkan diri sebagai Susuhunan Jagapati di Rowo Bayu dengan menghimpun
prajurit-prajurit Blambangan yang kecewa. Di Rowo Bayu, Jagapati membangun
tempat yang mirip kerajaan. Kini, Rowo Bayu sebuah rawa di kaki Gunung Raung
yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar. Rawa yang airnya berwarna
hijau ini merupakan pertemuan tiga mata air, yakni Sendang Kaputren, Sendang
Wigangga, dan Sendang Kamulyan.
Pemandangan di sekitar
Rowo Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, di kaki Gunung Raung.Perlawanan Pangeran
Jagapati ini diramaikan oleh seorang pejuang wanita bernama Mas Ayu Wiwit. Pada
1771 pejuang ini bersama rakyat Blambangan melawan serbuan Belanda yang
bermarkas di Desa Songgon dan juga melawan serangan rakyat Madura pesisir Jawa
Timur yang dipimpin oleh Ki Suradiwirya dan Ki Pulangjiwa. Mas Ayu Wiwit, Mas
Jagapati, bersama para pemimpin pasukan seperti Ki Keboundha, Ki Tumbhakmental,
Ki Kebogegambul, Ki Kidang Salendhit, Ki Sudukwatu, dan Ki Jagalara dengan
sekuat tenaga mempertahankan tanah Blambangan. Perang Puputan Bayu berlangsung
sejak 2 Agustus 1771 sampai 18 Desember 1771.
VOC yang marah segera
mengirimkan 1.500 pasukannya guna menumpas prajurit Blambangan, pada Oktober
1772. VOC membakar lumbung-lumbung padi di Songgon, sehingga perlawanan rakyat
Blambangan melemah karena kelaparan. Perang pun pecah kembali. Kali ini, ribuan
prajurit Blambangan dibunuh, kepala mereka digantungkan di pohon-pohon di
sekitar Rowo Bayu. Rakyat Blambangan yang semula berjumlah 8.000-an hanya
tersisa sekitar 2.000 ribuan jiwa akibat serangan VOC itu. Penduduk Blambangan
lainnya memilih menyebrang ke Bali atau ke wilayah pegunungan di sebelah
selatan atau baratdaya.
Diperkirakan, setelah
Puputan Bayu selesai, lebih dari separuh penduduk Blambangan lenyap. Untuk
menutupi kekurangan jumlah penduduk ini, pemerintah kolonial Belanda
mengerahkan penduduk dari wilayah lain untuk mendiami Blambangan. Sementara
itu, penduduk Blambangan yang tidak melarikan diri kini dikenal sebagai
masyarakat “sing”. Kata sing berarti “tidak”, dan di sini bermakna “orang yang
tidak ikut mengungsi”. Baru seabad kemudian, pada masa Thomas Raffles, penduduk
Banyuwangi tercatat berkisar 8.554 jiwa.
Muncar, Ibukota Baru
Setelah Perang Puputan Bayu berakhir, VOC memindahkan ibukota kerajaan ke
wilayah Muncar karena letaknya yang berdekatan dengan Pelabuhan Ulupampang
(kini bernama Pelabuhan Muncar). Hak ini dilakukan VOC atas pertimbangan guna
mengawasi Selat Bali dikarenakan kerajaan-kerajaan Gelgel dan Mengwi di Bali
berusaha merebut Blambangan kembali. Keinginan raja-raja Bali untuk merebut
Blambangan dapat dimengerti mengingat sebelumnya kerajaan-kerajaan di Bali itu
selalu memberikan bantuan kepada Blambangan saat peperangan melawan VOC maupun
melawan kerajaan-kerajaan Islam.
Melihat ancaman yang
serius dari Selat ini membuat VOC akhirnya terpaksa bekerja sama dengan
Mataram. Tujuannya: agar untuk memutus hubungan Blambangan dengan Bali dengan
jalan islamisai Blambangan. Mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang
Islam untuk dijadikan raja di Blambangan dengan harapan proses islamisasi
berlangsung lebih cepat.
Di Muncar inilah periode
Kerajaan Blambangan bercorak Islam dimulai. Dari Muncar, ibu kota Kerajaan
kemudian berpindah ke Banyuwangi (saat ini menjadi letak Pendopo Kabupaten
Banyuwangi). Pada masa ibukota di Muncar ini, otomatis eksistensi Blambangan
sebagai kerajaan telah lenyap.
Ketika islamisasi makin
berkembang di Blambangan, banyak warga yang memilih untuk menyeberang ke Bali.
Mereka masuk sebuah hutan bernama Alas Purwo, karena bersiteguh memegang agama
Hindu dan menolak pengislaman dari pihak Mataram yang ada di Blambangan.
Sementara itu, Pelabuhan
Muncar sendiri merupakan jantung pertahanan sekaligus pusat militer VOC pada
abad ke-17 dan ke-18 di Blambangan. VOC mengangkat warga Tionghoa menjadi
kepala pelabuhan. Pelabuhan ini cukup ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari
Cina, Arab, dan beberapa wilayah Nusantara, sehingga di sekitar pelabuhan
terdapat perkampungan-perkampungan berbagai etnis tersebut.
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, maka sebuah garis bisa kita tarik untuk memetakan
wilayah-wilayah Kerajaan Blambangan ini. Bila dirunut dari masa Lumajang,
sebagai tempat asal, hingga Muncar sebagai ibukota terakhir, jelas bahwa pusat
Blambangan terus bergeser ke arah timur, dan jelas pula bahwa Kerajaan
Blambangan merupakan negara yang selalu berada dalam kondisi politik yang
bersitegang dan penuh dengan konflik luar negeri.
Letak Istana
Membicarakan letak
istana(-istana) Blambangan tentu tak mudah. Hal ini, pertama, dikarenakan pusat
kerajaan ini berpindah-pindah. Bila kita menetapkan bahwa pusat pemerintahan
pertama kerajaan Blambangan adalah Lumajang lalu Panarukan, maka sepatutnya
kita menelusuri jejak-jejak budaya di dua kota tersebut. Namun, sejauh ini,
belum ada temuan yang bisa menuntun kita ke arah sana. Maka dari itu,
penelusuran kita alihkan ke arah yang lebih timur/tenggara, tepatnya ke
Banyuwangi.
Masyarakat yang
mengatasnamakan Forum Penyelamat Situs Macan Putih pernah melakukan penggalian
di 17 titik, namun kegiatan itu tak sampai rampung. Walau begitu, bukannya tak
ada bukti sama sekali mengenai bangunan pada masa Kerajaan Blambangan ini.
Warga sekitar Desa Macan Putih masih sering menemukan sisa-sisa batu bata yang
diperkirakan bekas bangunan kerajaan, berukuran dua kali lebih besar dibanding
ukuran batu bata saat ini. Mengenai fungsi dari sisa-sisa batu bata itu masih
belum jelas, apakah sebagai pagar keraton, benteng, atau dinding keraton. Yang
bisa dipastikan, batu-batu itu berasal dari masa prakolonial Belanda.
Selain di Desa Agung
Macan Putih, ada pula Situs Umpak Songo di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar,
yang dipercaya sebagai bekas reruntuhan bagian kerajaan atau benteng kerajaan
yang memiliki panjang sekitar 5 km. Di dalam situs ini terdapat 49 batu besar
dengan sembilan batu di antaranya berlubang di tengah. Kesembilan batu yang
tengahnya berlubang itu berfungsi sebagai umpak atau penyangga, karena itulah
situs ini dinamakan Umpak Songo (Sembilan Penyangga). Ketika ditemukan, situs
ini terpendam pada kedalaman 1 – 0,5 m dari permukaan tanah, membentang dari
Masjid Pasar Muncar hingga area persawahan Desa Tembokrejo. Diduga, benteng
atau istana ini merupakan peninggalan Blambangan pada saat ibukota pindah ke
Muncar.
Bangunan lain yang
merupakan peninggalan Kerajaan Blambangan pada periode Muncar adalah Siti
Hinggil (Setinggil) yang bermakna “Tanah yang Ditinggikan” (siti adalah tanah,
hinggil/inggil adalah tinggi). Siti Hinggil ini berada di sebelah timur
pertigaan Pasar Muncar. Fungsi Siti Hinggil adalah sebagai pos pengawasan VOC
untuk memata-matai musuh dari kerajaan-kerajaan Bali yang akan melakukan
penyerangan, yakni berupa batu pijakan yang terletak di atas gundukan batu
tebing guna mengawasi keadaan di sekitar Teluk Pangpang. Jarak Sitihinggil ini
dari Situs Umpak Songo cukup ditempuh dalam waktu 10 menit ke arah timur.
Ada pula kolam dan sebuah sumur kuno yang ditemukan di sekitar Pura Agung
Blambangan, yakni di Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi.
Beberapa benda peninggalan sejarah Blambangan yang lainnya terdapat di Museum
Daerah berupa guci dan asesoris gelang lengan.
Blambangan, Pusat Keagamaan
Dari teks Bujangga Manik
yang ditulis sekitar abad ke-16, kita dapat memperoleh sebuah nama daerah
sebagai tempat bertapanya kaum agamawan Hindu, yakni “Balungbungan” yang, bila
merujuk teks naskah tersebut, terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sangat
mungkin sekali bahwa nama Blambangan pada abad ke-16 (dan juga abad-abad
sebelumnya) adalah Balungbungan, atau Balungbungan merupakan penulisan lain
dari Blambangan atau Balambangan.
Ada pun tokoh dalam
Bujangga Manik adalah seorang bangsawan Sunda dari keraton Pakuan yang
bercita-cita menjadi pertapa yang mencari jalan menuju kehidupan abadi. Tokoh
ini menolak menikah dan memilih untuk bertapa di Balungbungan, guna mencari
tempat peristirahatan terakhir. Setiba di Balungbungan, setelah berhari-hari
berjalan menapaki wilayah utara Jawa dari Pakuan (di sekitar Bogor, Jawa
Barat), tokoh ini melakukan laku tapa, mendirikan pesanggrahan, berkebun, dan
mendirikan lingga. Di tempat ini ia tinggal selama setahun lebih setelah
didatangi oleh seorang biarawati (“ebon”) yang ingin ikut bertapa. Tokoh ini
memilih untuk melanjutkan perjalanannya ke Bali daripada harus ditemani seorang
yang wanita—karena takut akan godaan melakukan hal-hal yang dilarang.
Dari keterangan yang
diperoleh dari naskah berbahasa Sunda Kuno tersebut, jelas bahwa Balungbungan
merupakan salah satu tujuan kaum agama kala itu yang ingin menjadi pertapa dan
tujuan para peziarah dari berbagai pelosok. Meski tak ada keterangan lain yang
diperoleh dari naskah tersebut mengenai Balungbungan kecuali sebagai tempat
keagamaan, namun kiranya kita dapat memahami sepenggal peranan Balungbungan
pada masa bersangkutan. Dari uraian Bujangga Manik kita diyakinkan bahwa agama
yang dipeluk oleh sebagian masyarakat Blambangan pra-Islam adalah Hindu.
Pada abad ke-16, ketika
kerajaan-kerajaan di Jawa telah bercorak Islam, hanya ada dua kerajaan yang
berpegang teguh pada coraknya yang Hindu, yakni Sunda-Pajajaran dan Blambangan.
Dua kerajaan ini pula yang melakukan hubungan politik dengan Portugis yang
bermarkas di Malaka. Persekutuan ini merupakan usaha politis dua kerajaan
tersebut dalam menahan penetrasi kerajaan-kerajaan Islam yang justru tengah
berusaha menghalau pengaruh Portugis di kawasan Nusantara.
Setelah pengaruh Mataram dan terlebih-lebih setelah VOC mengalahkan perjuangan
masyarakat Blambangan, eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah.
Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat
Blambangan—juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.
Kehidupan Sosial dan
Ekonomi
Tak banyak sumber yang memberitakan mengenai sistem sosial dan ekonomi yang
dianut oleh masyarakat Blambangan. Tome Pires (Lombard, 2008: 171) menulis
bahwa pada abad ke-15 dan 16, Pulau Jawa banyak memprosuksi hamba atau hulun
alias budak, dan Blambangan merupakan salah satu pengekspor golongan masyarakat
tersebut.
Ada pun kehidupan
ekonomi-sosial masyarakat Blambangan sangat bergantung pada padi. Hal ini
berkesesuaian dengan berita bahwa pasukan VOC membakar lumbung-lumbung padi
saat menyerang Blambangan. Fakta bahwa baik Panarukan maupun Muncar adalah
kota-pelabuan menimbulkan anggapan bahwa kehidupan ekonomi kawula Blambangan
bergantung pula pada penghasilan laut. Selanjutnya, belum diketahui pasti apa
lagi hasil bumi yang dikelola oleh masyarakat Blambangan, namun kiranya dapat
disejajarkan dengan apa yang digarap oleh masyarakat Majapahit.
Blambangan dalam Roman Damarwulan-Minakjinggo
Muljana menulis bahwa
cerita roman Damarwulan dan Minakjinggo muncul setelah meletusnya Perang
Paregreg yang terjadi pada 1406. Perang inilah yang menginspirasi sastrawan
Jawa—yang entah siapa orangnya—untuk membuat kisah Damarwulan-Minakjinggo. Tak
terhitung sudah berapa kali kisah Damarwulan-Minakjinggo dipentaskan dalam seni
sendratari, ketoprak, dan teater.
Kisah
Damarwulan-Minakjinggo sendiri tercatat sedikitnya dalam tiga buah serat: Serat
Kanda, Serat Damarwulan, dan Serat Blambangan. Penulis Serat Kanda, yakni
sastrawan keraton Yogya, menurut Muljana, tak mengetahui pasti fakta-fakta sejerah
seputar Perang Paregreg. Maka dari itu, cukup beresiko pula bila kita
menghubungkan kisah Damarwulan-Minakjinggo ini dengan peristiwa Paregreg.
Apalagi semua serat itu ditulis pada masa kerajaan Islam, berabad kemudian
setelah peristiwa berlangsung.
Dikisahkan, penguasa
Blambangan bernama Minakjinggo ingin mempersunting Ratu Majapahit Kenya
Kencanawungu. Ia menaikkan statusnya, dari adipati menjadi raja Blambangan
dengan gelar Prabu Urubisma. Sang Ratu yang tak ingin diperistri oleh
Minakjinggo (yang digambarkan bertabiat kasar, buruk rupa, dan berbadan besar)
yang sudah memiliki dua orang istri, Dewi Puyengan dan Dewi Waita.
Sang Ratu segera
mengadakan sayembara: barang siapa yang bisa mengalahkan Minakjinggo, ia akan
diberi hadiah berlimpah. Raja Minakjinggo pun mengobrak-abrik Majapahit dengan
Gada Wesi Kuningnya. Sebelum ke Majapahit, pasukan Blambangan menyerang
Lumajang; bahkan dikirim pula utusan ke Ternate untuk diminta bantuan oleh
Minakjingo. Para prajurit dan pejabat Majapahit banyak yang gugur, termasuk
Ranggalawe. Tatkala situasi tak menentu ini, datanglah Damarwulan. Damarwulan
adalah putra dari Patih Majapahit bernama Udara. Setelah dewasa ia mengabdi
kepada pamannya, Patih Loh Gender di Majapahit, bekerja sebagai tukang rumput.
Putri sang Patih, Dewi Anjasmara, terpikat pada Damarwulan.
Singkat cerita,
Damarwulan menghadap Kencanawungu dan diangkat menjadi panglima Majapahit.
Berangkatlah Damarwulan menghadapi Minakjinggo. Berkat bantuan kedua istri
Minakjinggo, Waita dan Puyengan, Damarwulan berhasli mengalahkan Minakjinggo,
memenggal kepalanya sebagai bukti kepada Ratu kencanawungu. Damarwulan membawa
kepala Minakjinggo ke Majapahit. Namun, di tengah jalan ia dikhianati oleh dua
orang anak Loh Gender, yakni Layang Seta dan Layang Kumitir, yang mengaku
sebagai utusan Ratu Kencanawungu. Tanpa curiga, kepala Minakjinggo diserahkan
oleh Damarwulan. Cerita selanjutnya gampang ditebak. Layang Seto dan Layang
Kumitir pun dianggap pahlawan oleh ratu dan rakyat
Majapahit. Namun,
akhirnya kedok mereka berdua terkuak, Damarwulan pun menikah dengan
Kencanawungu dan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Prabu Mertawijaya.
Pernikahan Damarwulan dengan Ratu Kencanawungu membuahkan seorang putra bernama
Brawijaya.
Raffles menulis (2008:
234) bahwa pada abad ke-19 cerita Damarwulan-Minakjingo merupakan cerita
favorit orang Jawa dan kerap dipentaskan dalam bentuk wayang klitik (wayang
dari kayu dengan tinggi 10 inci) dan wayang beber (sosok wayang digambar pada
lembaran kertas yang keras di mana dalang memberikan dialog).
Sebagian masyarakat
percaya bahwa Ratu Kencanawungu merupakan perwujudan sosok Ratu Suhita,
sedangkan Minakjinggo adalah Bhre Wirabhumi. Pandangan ini tentu bersifat
ahistoris dan memang bertolak belakang dengan kajian di lapangan (misalnya
terdapat nama Ranggalawe sebagai Adipati Tuban, yang seharusnya hidup pada masa
Sanggramawijaya). Akan tetapi, terlepas dari sifatnya yang sastrawi, ada satu
hal yang perlu diperhatikan mengenai kisah roman ini: keberpihakan para penulis
serat tersebut sangat terasa, yakni berpihak kepada pihak yang menang
(Majapahit, yang diwakili oleh sosok Damarwulan) dan seolah-olah memperolok
pihak yang kalah, yakni Blambangan yang diwakili oleh sosok Minakjinggo.
Mengapa? Karena dalam seni Banyuwang dan Janger, sosok Minakjinggo ditampilkan
dengan wajah rupawan dan ia memberontak karena Ratu Kencanawungu membatalkan
rencananya untuk dinikahi oleh Minakjinggo.
Jeng Asih, Ratu
Pembuka Aura dari Gunung Muria
ALternatif Health Centre
TOEMAFHTRA
AS-SYAKINAH
Kejari:
B-46/0.2.25/DSP.4/12/2011
Anda Ingin Segera Sembuh Dari Penyakit? Segera Kunjungi Klinik
Kami: Penyembuhan dan Pengobatan Dengan Menggunakan Ramuan Herbal Yang Sudah
Diakui Khasiatnya Oleh Para Pakar dan Ahli Kesehatan Dunia.
RB.Wahyu
Wibowo.SE.Msi.Ak.CA.CPAi
Spesialis:
Strok, Diabetes, Kanker/Tumor, Darah Tinggi/Rendah, Syaraf (Badan Mati
Separo), Maag, Ambeient, Asam Urat, Asma (TBC), Lemah Syahwat,Lama Tidak Punya
Keturunan, Ruqyah (Ruwatan Islami)
Komplk:
Lamigas Blok A No. 18 Meruyung, Limo – Depok
HP: 081586699981 – 081219630711
CV. PROTECH SERVICE INDONESIA
Selamat Datang di Website CV. Protech Service Indonesia. Kami merupakan perusahaan yang berdiri sejak 2007 bergerak dalam industri Gasket, Alat Mekanik Lainnya, Hidrolik, Bengkel Kapal, Spring mounting Anti vibrasi, restaurant kitchen hotel cathering, Mesin pengasapan Nyamuk, Safety Product, Hydraulic Tools, Hand Cleaner, Pneumatics, roda troli, Gasketing sealing compound anti seize bonding, Cold Galvanish Compound , Screen Wiremesh, Repair Bolt Thread, Mata bor reamer, Selang, Tube Fitting tubing valve, otomotif, isolasi panas. Kami berada di Jl. Meruya selatan DPR I no.17A , kembangan . ( dekat JORR W2 meruya selatan) Jakarta Barat . email : protechserviceindonesia@gmail.com ...... Temukan berbagai produk terbaik kami (Bonpet Inno autimatic, spring mounting, permatex loctite, minifogger mesin, roda trolley castor, wiremesh screen) dengan kualitas dan harga jual terbaik yang bisa Anda dapatkan. Segera Temukan Kebutuhan Anda di
www.protechserviceindonesia.com
Ki Cokro Santri Tunggal:
Mengatasi Berbagai Macam Masalah
KI COKRO ST,MASTER OF GENDAM: Mengatasi Berbagai Macam Problem Permasalahan Anda langsung Tuntas Tidak Ada Istilah gagal, Sudah Terbukti. Masalah: Pelet, Bisnis, Pelarisan, Kekebalan, Pengisihan Tenaga dalam, Ruwatan, Silat dll.
Hub: HP/WA: 08159852189. Condet, Jakarta Timur www.seputarmistik.com
“Semarak Pesta Kembang Api Spectakuler”
Kami Perusahaan jasa khusus pengadaan Bunga Api dan Special Efek berdiri sejak 1988, dengan pengalaman 20 tahun dalam melaksanakan pertunjukkan Bunga Api.Kami yang pertama dan terbaik di Indonesia
Kami, menggunakan Bunga Api Impor dengan kualitas terbaik Kelas Dunia yang dapat digunakan dalam rangka menunjang Kegiatan-kegiatan di dalam gedung maupun di luar gedung, khususnya acara malam Pergantian Tahun , Wedding Party, Ulang Tahun Perusahaan, Festival dll, dengan lebih aman dan spectakuler:
Info:085285179336 email: agyudhistira72@gmail
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
https://djengasih.com/blog/tanda-pasangan-terkena-serangan-pelet
Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
BalasHapusSaya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...