Sabtu, 30 April 2016

Makam Kramat Nyai Mranggi Banyak di Kunjungi Peziarah

Tabir.com. Rupanya saya berjodoh untuk berkunjung ke Makam Nyai Mranggi yang berada di sebuah puncak perbukitan tidak begitu tinggi di Grumbul Wanasepi, Binangun, Banyumas. Meskipun tidak mudah untuk menemukan lokasi Makam Nyai Mranggi ini dan sempat tersesat beberapa kali, namun akhirnya lokasi makamnya bisa ditemukan juga.

Sesungguhnya tujuan semula adalah ke Makam Kyai Mranggi. Setelah menanyakan arah di dekat Alun-alun Banyumas, kami meluncur ke arah Kejawar dan ketika sampai di pompa bensin sekitar 2 km dari Alun-alun Banyumas arah ke Selatan, Tri bertanya kepada seorang penduduk. Sayangnya ia bertanya pada orang yang salah.

Kami lewat Alun-alun Banyumas lagi, dan berbelok ke arah Barat. Setelah melewati perkampungan penduduk, mobil mengarah ke Barat Daya melewati bulakan sepanjang 3,5 km dengan pemandangan perbukitan hijau yang cukup menghibur.
Alih-alih ke Makam Kyai Mranggi, kami diarahkan ke tempat yang kemudian saya ketahui sebagai Makam Nyai Mranggi. Kedua tempat ini letaknya berjauhan dan berlawanan arah. Setidaknya terpisah sejauh 7,5 km. Entah mengapa kami tidak melakukan cek silang ke penduduk lainnya, sehingga mobil langsung berbalik arah.
Selepas bulakan kami menjumpai permukiman penduduk lagi, dan jalanan mulai menanjak dan terus menanjak sampai lebih dari 3 km sebelum akhirnya kami berhenti untuk bertanya arah. Belokan ke Makam Nyai Mranggi sudah terlewati, sehingga kami pun berbalik arah dan akhirnya menemukan belokan ke kanan (belok ke kiri jika dari Banyumas), masuk ke jalan tanah yang diperkeras.
Tidak adanya papan nama, membuat jalan setapak ke atas bukit dimana Makam Nyai Mranggi berada pun terlewati. Itu kami ketahui setelah bertanya kepada seorang penduduk setelah sekitar 600 meter menyusur jalan dusun itu.

Undakan tanah tanpa tatanan batu yang saya tapaki untuk menuju ke atas bukit dimana Makam Nyai Mranggi berada.
Beruntung musim hujan belum lagi tiba, sehingga meskipun sedikit sulit untuk menapaki undakan curam dan sempit itu namun tidak ada kekhawatiran kaki akan tergelincir.

Sesampainya di atas, terlihat hanya ada beberapa pohon yang batangnya lumayan besar, selain pemandangan perbukitan hijau di kejauhan, dan sebuah lintasan sempit melintang arah kiri dan kanan.
Di sini masih belum ada petunjuk arah ke Makam Nyai Mranggi.

Menengok ke sebelah kiri ada sebuah bangunan kecil dengan dinding tembok dan atap seng yang semula saya kira cungkup Makam Nyai Mranggi. Namun ternyata bukan.
Lebih jauh ke kiri lagi ada sebuah bangunan menyerupai rumah. Ke sana lah kami menuju, meskipun tidak yakin bahwa kami menuju ke tempat yang benar.

Papan nama Makam Nyai Mranggi yang baru terlihat ketika sudah dekat ke rumah itu menegaskan bahwa kami tidak salah jalan. Tidak apalah kami gagal pergi ke Makam Kyai Mranggi karena setidaknya kami menemukan makam sang Nyai.
Suasana sepi. Pintu tertutup ketika kami tiba namun terbuka ketika saya dorong. (Foto di atas diambil saat kami meninggalkan tempat ini). Tidak ada orang di dalam. Namun tidak lama kemudian muncul seorang peziarah. Ia rupanya sudah beberapa hari bertirakat di tempat ini. Kuncennya sendiri tidak muncul sampai kami pergi.

Tri (kaos orange) dan pria peziarah itu di dalam rumah Makam Nyai Mranggi. Sayang catatan tentangnya yang tersimpan di MemoPad BB saya terhapus ketika saya install ulang OS-nya lantaran hang terus.
Apa yang masih tersisa di dalam ingatan adalah bahwa ialah yang membuat papan bertuliskan aksara Jawa yang menempel pada dinding, sudah sering datang menyepi ke tempat ini, dan bahwa ia pernah beberapa kali melihat penampakan sang Nyai yang mengenakan pakaian berbeda-beda.

Tulisan beraksara Jawa pada dinding rumah Makam Nyai Mranggi buatan pria itu. Di sebelahnya terdapat tulisan berbunyi ‘Embah Ny Mranggi’.
Nama gadis Nyai Mranggi adalah Rr. Ngaisah, putri bungsu pasangan Raden Haryo Baribin (putera Brawijaya IV, Raja Majapahit) dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas (putri bungsu Prabu Dewa Niskala, Raja Galuh Kawali, Pajajaran).
Kakak tertua Dyah Ayu Ratu Pamekas adalah Raden Banyak Cotro, yang mengembara mencari pasangan hidupnya sampai ke Kerajaan Pasir Luhur (di sisi Barat Kota Purwokerto sekarang). Dalam pengembaraan itu ia dikenal dengan nama Raden Kamandaka dan sempat menjadi Lutung Kasarung, sebelum akhirnya menikahi putri Raja Pasir Luhur bernama Dewi Ciptoroso.
Jika legenda Raden Kamandaka dan Lutung Kasarung sangat terkenal di daerah Banyumas, tidak demikian dengan nama Kyai dan Nyai Mranggi. Setidaknya begitulah yang saya rasakan, karena nama itu baru saya kenali setelah mulai menulis tentang tempat-tempat wisata Banyumas yang saya kunjungi.
Ruangan tengah Makam Nyai Mranggi.
Tidak ada yang menarik perhatian di ruangan tengah Makam Nyai Mranggi ini. Hanya ada sebuah sajadah di atas lantai yang dilapis karpet hijau. Lubang di ujung ruangan adalah pintu menuju ke Makam Nyai Mranggi. Suasana remang cenderung suram membuat tempat ini terasa wingit. Bagaimana pun saya meneruskan langkah memasuki ruang Makam Nyai Mranggi sendirian.

Inilah Makam Nyai Mranggi yang terkesan tua dan sederhana. Jauh dari kesan agung sebuah kubur keturunan raja.
Tulisan pada sisi makam hanya berbunyi: “Dilarang masuk / istirahat di dalam kecuali ada izin !!!”.
Makam Nyai Mranggi mestinya juga dimuliakan oleh Pemda Banyumas, sebagaimana dimuliakannya makam Joko Kahiman, Bupati Pertama Banyumas, yang saya kunjungi kemudian, lantaran hubungan yang sangat dekat diantara keduanya.
Joko Kahiman, yang kemudian juga dikenal dengan nama Adipati Mrapat, adalah putra Raden Banyak Sosro (kakak Nyai Mranggi), yang sejak kecil diangkat anak oleh Kyai serta Nyai Mranggi sampai ia dinikahkan dengan sepupunya sendiri, putri Adipati Anom Wirautama di Wirasaba (kakak tertua Nyai Mranggi).

Botol-botol kecil minyak wangi bawaan peziarah tampak berjajar di sisi Makam Nyai Mranggi.
Bentuk gunungan seperti batu hitam di sebelah kiri Makam Nyai Mranggi tampaknya adalah gundukan sisa pembakaran dupa atau kemenyan yang disulut peziarah ketika berada di tempat ini. Tumpukan bunga merah putih yang belum mengering juga terlihat pada bagian atas makam.
Makam Kyai Mranggi dan Makam Nyai Mranggi yang letaknya berjauhan itu konon karena Nyai Mranggi pergi meninggalkan rumah setelah suaminya wafat, hingga suatu hari ia tiba di Grumbul Wanasepi dan tinggal di sini sampai ia wafat dan dimakamkan di puncak perbukitan ini. Semoga saja Makam Nyai Mranggi bisa segera mendapat perhatian yang lebih layak, sebagai bagian dari sejarah Banyumas yang tidak boleh dilupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar