Kamis, 28 April 2016

Legenda Terbentuknya Telaga Sarangan

Keindahan Telaga Sarangan 
Tabir.com "Disebuah dusun di lereng Gunung Lawu hiduplah seorang petani bersama istrinya yang bernama Kyai Jalilung dan Nyai Jalilung. Kesehariannya bercocok tanam di ladang. Seperti biasa setiap hari Nyai Jalilung mengantarkan makanan untuk suaminya.
Pada suatu hari saat Kyai Jalilung  sedang mencangkul di ladang, ia menanti-nanti istrinya yang tak kunjung datang padahal hari sudah beranjak siang. Karena merasa lapar Kyai Jalilung pun mencari makanan yang bisa dimakan, dan akhirnya menemukan sebutir telur di dekan pancuran air. Oleh Kyai Jalilung telur itupun dibakar dan dimakan, baru menyantap setengahnya ia sudah merasa sangat kenyang.

Tak lama kemudia datanglah Nyai Jalilung membawa makanan. Kepada istrinya Kyai Jalilung menceritakan telah memakan separo telur dan merasa sangat kenyang. Sang istri pun jadi penasaran dan ikut memakan yang sisanya. Saat keduanya sudah memakan telur itu kejadian aneh pun menimpanya, keduanya merasa panas lalu menceburkan diri di pancuran air. Seketika itu juga keduanya berubah wujud menjadi ular naga. Karena besarnya ular naga, pancuran air yang awalnya kecil berubah menjadi telaga yang sekarang dikenal dengan nama Telaga Sarangan."Demikian dikisahkan oleh Mbah Supar Sastrodiharjo sesepuh adat Telaga Sarangan.


Melepas   Kepenatan di Telaga Sarangan 

Berada di lereng sebelah timur Gunung Lawu, tepatnya di Desa Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Panorama alam pegunungan Telaga Sarangan memang sangat tepat untuk dikunjungi, ditambah dengan suara deru angin yang berhembus kian memanjakan setiap orang yang datang. Keyakinan masyarakat akan legenda tersebut menjadikan telaga sarangan selain sebagai wisata alam juga sebagai tempat wisata religi yaitu diadakanya upacara ritual oleh masyarakat sekitar telaga yang disebut dengan gebyar labuhan tumpeng  yang diselenggarakan setahun sekali tiap bulan Syahban atau Ruah pada hari Jumat Pon.

Gebyar labuhan tumpeng adalah sebuah acara persembahan berupa tumpeng nasi dan pala wija yang diarak keliling telaga dengan menggunakan perahu yang kemudian akan dilarung ditengah telaga.
Dikatakan Mbah Supar (82th) gebyar larungan tumpeng sarangan bertujuan untuk ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas segala berkah yang diberikan dan juga ungkapan rasa terimakasih kepada Kyai Jalilung dan Nyai jalilung, karena beliau masyarakat Sarangan kehidupannya bisa lebih mapan.

Di sini juga terdapat sebuah pulau yang berada ditengah telaga yang bernama Pulau Putri. Dinamakannya Pulau Putri karena ditempat tersebut konon tempat bertapanya seorang putri yang bernama Kusumaning Ayu Dewi Werdiningsih hingga murco (mukwa). "Dewi Werdiningsih adalah saudara dari Nyai Jalilung yang berubah menjadi ular naga dan menghilang, untuk bisa menemukan saudaranya itu Dewi Werdiningsih pun bertapa hingga murco (menghilang)," kata Mbah Supar.
Telaga Sarangan Solusi Menghilangkan Kepenatan
Selain gebyar larungan tumpeng, di Telaga Sarangan juga ada upacara ritual larungan sesaji yang dijalani oleh para penduduk yang menyewakan perahu kepada para pengunjung. Larungan diadakan tiap bulan Suro (Muharam). Dikatakan Junaidi (43th), tukang perahu. Larungan sesaji dilakukan dengan tujuan untuk memohon keselamatan para tukang perahu dan pengunjung yang menyewa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Saya sudah jadi tukang sewa perahu selama 25 tahun, karena kita semua menjalankan tardisi yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu selama saya disini belum pernah mengalami kejadian yang tidah diinginkan baik perahu maupun penumpangnya," ucap Junaidi. Seperti apapun bentuk dan tujuan sebuah tradisi sudah selayaknya untuk dilestarikan keberadaannya, begitu pula dengan larungan tumpeng dan sesaji yang dilakukan di Telaga Sarangan. Yang merupakan sebuah warisan budaya dari para leluhur bangsa.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar